Daerah

Di Abad 17, Syekh Abdurrauf Singkel Fatwakan Perempuan Boleh Jadi Pemimpin

Ahad, 18 Desember 2022 | 19:00 WIB

Di Abad 17, Syekh Abdurrauf Singkel Fatwakan Perempuan Boleh Jadi Pemimpin

Ilustrasi Sultanah Safiatuddin. (Sumber: Iqra.id)

Tegal, NU Online

Pada abad ke 17, Syekh Abdurrauf as-Singkili sudah mengeluarkan fatwa perempuan boleh menjadi pemimpin negara. Hal itu terjadi saat Sultan Iskandar Tsani wafat dan digantikan oleh istrinya, Sultanah Safiatuddin.


Hal tersebut diungkapkan oleh Pakar Manuskrip Islam Nusantara Ahmad Ginanjar Sya’ban saat menjadi pembicara dalam Halaqah Fiqih Peradaban bertema “Fiqih Siyasah dan Tatanan Dunia Baru” di Pondok Pesantren Ma'hadut Tholabah Babakan, Lebaksiu, Tegal, Jawa Tengah, Sabtu (17/12/2022).


"Ijtihad khas dari Syekh Abdurrauf as-Singkili, merespons fenomena yang terjadi di Nusantara saat itu. Yang menarik adalah saat Penguasa Aceh Sultan Iskandar Tsani wafat, ketika wafat tidak mempunyai penerus laki-laki, tetapi penerusnya adalah istrinya, namanya adalah Sultanah Safiatuddin Tajul-'Alam Berdaulat fil Ardi," ungkapnya.


Lebih lanjut, Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta tersebut mengatakan bahwa Syekh Abdurrauf as-Singkili memperbolehkan seorang perempuan untuk menjadi Imamul Muslimin.


"Itu di antara ijtihad ulama Nusantara, merespons perubahan tatanan dunia baru pada masa itu, dan terhadap peradaban pada masa itu. Artinya menunjukkan bahwasanya fiqih siyasah di sini, karena memang merupakan juz'un min fiqh al-muamalah, bagian daripada fiqih muamalah yang mana ijtihad dalam fiqih muamalah ini jauh lebih dinamis artinya tidak kaku, termasuk yang dilakukan oleh Syekh Abdurrauf as-Singkili pada masa itu," jelasnya.


Hal ini dilakukan karena sosoknya merupakan ulama yang ahli dalam bidang fiqih. Kepakarannya itu juga dibuktikan dengan karyanya yang cukup lengkap mengenai fiqih muamalah, yaitu Mirât al-Thullâb fil Muamalah bi Syar'iyati al-Malik al-Wahab, sebuah syarah pengembangan kitab Fathul Wahab karya Syekh Zakariya al-Anshori.


"Kalau fiqih ibadah terlengkap sudah ditulis oleh ulama Nusantara yaitu Syekh Nuruddin ar-Raniry yang wafat pada tahun 1657, menulis kitab tentang fiqih ibadah Mazhab Syafi'i terlengkap judulnya Shirat al-Mustaqim. Beliau wafat, dan belum sempat menulis kitab muamalahnya. Akhirnya oleh Syekh Abdurrauf as-Singkili generasi ulama setelahnya, ditulis kitab fiqih muamalah Mazhab Syafi'i terlengkap dalam sejarah pemikiran Islam Nusantara," ujarnya.


Mahaguru ulama Nusantara dan pembawa tarekat Syatariyah

Syekh Abdurrauf as-Singkili juga dikenal sebagai mahaguru di Nusantara. Ia juga merupakan ulama yang pertama kali membawa Tarekat Syattariyah di Nusantara dari gurunya yang bernama Syekh Ahmad al-Qusyasyi al-Madani yang wafat pada tahun 1661.


"Syekh Ahmad Qusyasyi punya murid namanya Syekh Ibrahim al-Kurani, dan juga punya murid namanya Syekh Abdurrauf as-Singkili. Syekh Abdurrauf as-Singkili ini punya banyak murid di Jawa. Di antaranya ada yang dari Tasikmalaya, Syekh Abdul Muhyi Pamijahan Safar Wadi, wafatnya tahun 1730, itu murid langsung dari Syekh Abdurrauf as-Singkili," ujar peraih gelar doktor dari Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat itu.


Syekh Abdul Muhyi mempunyai anak sekaligus murid bernama Kiai Abdullah dikenal dengan nama Dalem Bojong. Kiai Abdullah punya murid namanya Kiai Nur Khotib. Kiai Khotib punya murid orang Lebaksiu namanya Kiai Mursyid.


"Kiai Mursyid ternyata mengambil Tarekat Syatariyah dari Kiai Nur Khotib, Kiai Nur Khotib mengambil Tarekat Syattariyah dari Kiai Abdullah. Kiai Abdullah mengambil Tarekat Syatariyah dari Kiai Abdul Muhyi Pamijahan, dari Syekh Abdurrauf as-Singkili," jelasnya.


Kemudian Syekh Abdul Muhyi juga punya anak di Talaga Majalengka namanya Kiai Faqih Ibrahim yang mengajar lama di Kartasura. Di sana, ia memiliki santri bernama Kiai Kastuba Bagelen. Kiai Kastuba Bagelen punya murid namanya Raden Pakuningrat. Lalu punya murid namanya Nyi Mas Kadospaten yang merupakan nenek Pangeran Diponegoro.


"Kiai Muhyi juga punya murid juga orang Batang, Penghulu Besar Batang namanya Kiai Tholabudin, yang kemudian punya murid Kiai Muqoyyim pendiri Pesantren Buntet. Jadi, Syekh Abdurrauf as-Singkili ini terbayang kan bagaimana Syaikhul Masyayikh nya di Nusantara pada masa itu," pungkasnya.


Kontributor: Malik Ibnu Zaman
Editor: Syakir NF