Daerah

Diperlukan Kesungguhan Menggali Bukti Sejarah Kiprah NU

Sab, 14 Desember 2019 | 01:00 WIB

Diperlukan Kesungguhan Menggali Bukti Sejarah Kiprah NU

Diskusi di Markas Besar Oelama (MBO) Desa Kedungrejo, Kecamatan Waru, Sidoarjo, jatim. (Foto: NU Online/Yuli Riyanto)

Sidoarjo, NU Online
Markas Besar Oelama (MBO) di Desa Kedungrejo, Kecamatan Waru, Sidoarjo yang telah diresmikan Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim, KH Marzuki Mustamar, kini mulai dimanfaatkan untuk kegiatan.
 
Salah satunya adalah pada Kamis (12/12), lalu. Di gedung MBO digelar ngaji sejarah 1 Markas Besar Oelama  yang bertajuk ‘Menghidupkan Kembali Perjuangan Ulama’ dengan menghadirkan narasumber dari sejarahwan dan tokoh muda NU yaitu  Rijal Mumazziq Z dan Ayung Notonegoro.
 
M Iwan Wahyu Susanto sebagai moderator mengawali ngaji bareng dengan memperkenalkan biografi kedua nara sumber dan memperlihatkan tayangan video yang berkaitan dengan sejarah MBO.
 
Rijal Mumazziq Zionis menceritakan awal dirinya mengetahui keberadaan MBO. “Kalau berbicara  mengenai MBO, saya teringat pada tahun 2002 saat bersama teman-teman PMII Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Kala itu melakukan rencana tindak lanjut dan diajak senior kami ke rumah ini,” kata Rijal, sapaan akrabnya. 
 
Rektor Institut Agama Islam Al-Falah Assuniyah (Inaifas) Kencong Jember dan penulis buku ini menceritakan kondisi MBO saat itu tidak memprihatinkan seperti sekarang. Karena bisa untuk tidur, mandi, dan lainnya. 
 
“Kami tidak tahu bahwa di gedung ini memiliki aspek historis yang sangat luar biasa. Ketika itu di museum NU Surabaya ada pameran sketsa mengenai bangunan bersejarah,” kenangnya. 
 
Ketika melihat salah satu sketsa, dirinya merasa pernah melihat salah satu gambar yang memperlihatkan sebuah bangunan. Akhirnya dirinya ingat dan tahun 2006 melihat lokasi MBO sudah ditutup, Kemudian tahun 2015 kembali mencoba melihat kondisi gedung juga ditutup dan ada mobil rusak parkir di depan halama.
 
“Kurang lebih tanggal 16 November 2019, ternyata kita tahu bahwa gedung ini bukan dimiliki oleh personal NU, tapi dimiliki oleh KH Asep Saifuddin Chalim yang pernah menjabat sebagai Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Surabaya,” terangnya. 
 
Dan yang lebih hebat lagi, Kiai Asep saat ditemui oleh KH Soleh Hayat menyerahkan rumah ini sebagai wakaf untuk Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. 
 
Dalam pandangannya, kalau melihat dari gaya arsitektur, pola arsitektur gedung MBO seperti lumtrahnya gedung di Surabaya tahun 1920-1930an. Corak arsitektur seperti ini bisa dilihat di gedung PCNU Kota Surabaya, di kawasan Ampel, dan kampung kuno Peneleh.
 
“Kita harus bersyukur dengan kembalinya aset ini dan bahwa aspek sejarah-sejarah lokal harus dipertahankan agar anak-anak tidak mengalami buta sejarah,” tuturnya.
 
Ayung Notonegoro menyampaikan sudah berusaha mencari literatur tentang MBO dan merasakan agak kesulitan menemukan sumber primernya. 
 
“Akan tetapi bukan berarti tidak bisa kita temukan,” ungkap Ayung, sapaan akrabnya. Hal tersebut dialami sejak menjadi pengelola komunitas pegon di Banyuwangi yang konsen melakukan penelitian sejarah NU di kawasan setempat.
 
“Ternyata banyak sumber literatur yang membahas sejarah NU di lokal maupun nasional yang tidak banyak diamati orang,” urainya. 
 
Pria kolektor manuskrip kuno ulama terdahulu ini menjelaskan salah satu yang ditemukan adalah catatan pinggir yang ada di kitab. Di sana banyak informasi yang membahas sejarah lokal maupun nasional. 
 
“Kalau kita ingin mendapatkan literasi tentang MBO, harus bekerja keras dengan memeriksa kitab-kitab peninggalan para ulama di Sidoarjo. Mungkin ada serpihan catatan kecil atau ada tulisan beberapa nama yang terkait dengan MBO ini,” tegasnya.
 
Ngaji sejarah dihadiri utusan dari PWNU, Pengurus Wilayah Lembaga Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama, PW Lesbumi Jatim, tim revitalisasi MBO, Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Waru, Pimpinan Anak Cabang (PAC) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Waru, dan lainnya. 
 
 
Kontributor: Yuli Riyanto
Editor: Ibnu Nawawi