Daerah

Guru Besar IAIN Pontianak Paparkan Moderasi Beragama Perspektif Ilmu Hadits

Kam, 22 Desember 2022 | 20:15 WIB

Guru Besar IAIN Pontianak Paparkan Moderasi Beragama Perspektif Ilmu Hadits

Prof KH Wajidi Sayadi saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Hadits di Aula Syeikh A Rani Mahmud IAIN Pontianak, Kalbar. (Foto: Humas IAIN Pontianak)

Pontianak, NU Online
Dalam memahami Hadits Nabi Muhammad saw, perspektif Ilmu Hadits merupakan lahan besar yang terbuka luas untuk terus dikaji dan digali. Hal ini karena dalam studi hadits, obyek kajiannya mengarah pada otentisitas dan orisinalitas hadits. Otentisitas dan orisinalitas hadits merupakan kajian awal untuk memastikan kebenaran hadits bersumber dari Rasulullah atau tidak.


Hal ini diungkapkan Prof KH Wajidi Sayadi saat membacakan orasi ilmiahnya berjudul Metode Maqashid al-Hadits: Membangun Paham-Sikap Inklusif dan Moderat dalam Beragama saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Hadits di Aula Syeikh A Rani Mahmud IAIN Pontianak, Kalimantan Barat.


Adapun kajian mengenai pemahaman makna hadits ini merupakan lahan besar yang selalu terbuka untuk dibahas dan digali lebih jauh. Hadits Nabi Muhammad secara kuantitas tidak pernah bertambah dan kualitasnya sudah jelas.


“Akan tetapi, persoalan pemahaman makna yang terkandung dalam hadits itu masih sangat dinamis dan berkembang sesuai perkembangan dan problem zaman yang dihadapi manusia (an-nushush mutanahiyah wa al-waqa’i ghairu mutanahiyah),” ujarnya.


Ia mengatakan bahwa dalam perkembangan studi hadits seringkali yang menjadi pemicu konflik adalah persoalan pemahaman makna hadits (fahm ma’ani al-hadits), walaupun haditsnya sudah disepakati kesahihannya.


“Kompleksitas pemahaman hadits dipengaruhi banyak hal, antara lain karena hadits ini meliputi ucapan, perbuatan, takrir, sifat dan kondisi fisik Nabi, sehingga pemahamannya erat kaitannya dengan psikologi, sosiologi, fungsi, dan kedudukan Nabi dalam kehidupannya di tengah sosial masyarakat yang plural,” terangnya.


Wakil Ketua Umum MUI Kalbar ini mengungkapkan dari sekian banyak metode yang digunakan para ulama dalam memahami hadits terdapat satu metode yang disebut maqashid al-hadits atau maqashid as-sunnah.


Sebagaimana dalam kajian metodologi Tafsir Al-Qur’an dikenal dengan metode Tafsir Maqashidiy. Sebuah metode untuk menguak tujuan Al-Qur’an baik secara general (kulliyyah) maupun parsial (juz’iyyah) dalam rangka merealisasikan kemaslahatan umat manusia.


“Metode maqashid ini pada prinsipnya tidak sekadar membaca dan menghafal teks hadits. Akan tetapi, lebih dari itu dengan mengetahui pesan, maksud, dan tujuan yang dikehendaki Rasulullah saw. Secara umum diharapkan akan tercipta kemaslahatan umat manusia dan terhindar dari segala macam kemudaratan,” ungkapnya.


Dengan demikian, lanjut Prof Wajidi, hadits-hadits ini dapat dibumikan dalam kehidupan realitas sosial kemanusiaan. Sebuah pemahaman makna hadits dengan mempertimbangkan pada tujuan pokok dan substansi serta secara holistik seperti ini dapat mengantarkan pada pemahaman dan sikap inklusif dan moderat.


Maqashid al-Hadits tentang Pengobatan
Terkait praktik penggunaan metode maqashid al-hadits dalam memahami hadits mengenai pengobatan, misalnya, Kiai Wajidi mencontohkan dua Hadits Nabi tentang kesehatan.


عَلَيْكُمْ بِهَذِهِ الحَبَّةِ السَّوْدَاءِ فَإِنَّ فِيهَا شِفَاءً مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلَّا السَّامَ" وَالسَّامُ المَوْتُ


Berobatlah dengan jintan hitam ini, sebab ia merupakan obat bagi segala penyakit kecuali kematian. (HR Tirmidzi dari Abu Hurairah). 


إِنَّ أَفْضَلَ مَا تَدَاوَيْتُمْ بِهِ الْحِجَامَةُ وَالْقُسْطُ الْبَحْرِيُّ


Sesungguhnya yang sangat utama pengobatan kalian adalah bekam dan al-qusth al-bahr (sejenis kayu-kayuan dari laut). (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).


Dalam hadits tersebut, Nabi menyebutkan jintan hitam, bekam, dan kayu-kayuan dari laut sebagai sarana pengobatan. Prof Wajidi menyebutkan sarana seperti ini sebagai sebuah contoh dan menjelaskan suatu fakta atau kejadian pada zamannya.


“Sebagai sarana pengobatan, bisa berubah sesuai perkembangan zaman, budaya, lingkungan, dan ilmu pengetahuan. Jadi, tidak mengikat,” jelasnya dalam Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hadits yang digelar pada Senin (19/12/2022) lalu itu.


Ia mengatakan bahwa hari ini betapa banyak jenis obat dan pengobatan yang tidak pernah dikenal pada zaman Nabi. Semuanya boleh selama tidak bertentangan dengan syariat.


Maqashid-nya atau tujuan yang dikehendaki dalam hadits adalah perintah agar selalu memperhatikan dan memelihara kesehatan, keselamatan, dan kenyamanan fisik dan hidup, mengedepankan kemaslahatan jiwa,” tandasnya.


Hal ini sesuai maqashid asy-syariah adh-dharuriyyah, yakni حفظ النفس (memelihara nyawa dan kesehatan) adalah suatu kebutuhan pokok dan kewajiban. Kesehatan dan keselamatan jiwa lebih tinggi kedudukannya dan lebih didahulukan daripada sekadar pahala dan keutamaan dalam sebuah ibadah.


“Cara pandang dan metode maqashid as-sunnah seperti inilah yang digunakan para ulama ketika masa Covid-19 sehingga berkesimpulan boleh tidak merapatkan shaf dalam shalat berjamaah, boleh tidak shalat berjamaah apabila dinilai oleh yang berkompeten akan menimbulkan dan menularkan penyakit, dan lain-lain,“ ujarnya.


Ia berharap, melalui metode Maqashid al-Hadits ini diharapkan memahami secara substansial dan holistik membuat ajaran Islam menjadi shalihun li kulli zaman wa makan (ajaran Islam selalu relevan dengan perkembangan situasional dan kondisional).


Kontributor: Siti Maulida
Editor: Musthofa Asrori