Daerah

Ikhlas dan Riya’ Dua Sifat yang Berbeda

Rab, 8 Mei 2013 | 07:22 WIB

Probolinggo, NU Online
Ikhlas dan riya’ merupakan dua sifat yang berbeda, bertolak belakang dan bertentangan satu sama lain. Arti ikhlas adalah rela dengan setulus hati melakukan kebaikan hanya semata-mata karena Allah, sedangkan riya’ adalah melakukan sesuatu kebaikan semata-mata karena ingin dilihat dan disanjung orang.
<>
Statemen tersebut disampaikan oleh pengurus Bidang Pendidikan Pimpinan Cabang Muslimat NU Kota Kraksaan Siti Nur Tamami saat menyampaikan tausiyah dalam pengajian umum kelompok Sarwah di Masjid Sawah Kembang Kecamatan Gading, Selasa (7/5) malam.

Berdasarkan pantauan NU Online, pengajian umum ini diikuti oleh seluruh pengurus Pimpinan Anak Cabang (PAC) Muslimat NU dan ranting Muslimat NU se Kecamatan Gading Kabupaten Probolinggo. Selain itu, turut serta pula warga Nahdliyin setempat.

“Ikhlas adalah ruh ibadah. Sikap ikhlas berkaitan dengan niat. Niat merupakan keadaan atau sifat yang timbul dalam hati manusia yang menggerakkan atau mendorongnya untuk melaksanakan suatu pekerjaan. Dengan demikian, niat dan ikhlas tidak dapat dipisahkan dalam melakukan suatu pekerjaan,” ujarnya.

Menurut Nur Tamami, ikhlas adalah melaksanakan suatu perbuatan taat atau ibadah karena menjalankan perintah Allah dan mengharapkan ke ridlaan-Nya. Sikap ikhlas dalam semua kegiatan, termasuk melaksanakan ibadah merupakan misi kehadiran manusia dipermukaan bumi ini. Oleh sebab itu, Allah memerintahkan manusia selalu ikhlas dalam beribadah dan melakukan segala aktivitasnya.

“Sikap ikhlas sangat menentukan kualitas dan nilai ibadah dihadapan Allah SWT. Kualitas ikhlas seseorang dalam melakukan perbuatan taat dapat diketahui dengan memperhatikan motivasi atau niatnya,” terangnya.

Dalam konteks ini, ada orang yang beribadah dan berbuat taat karena takut kepada Allah dan siksa-Nya. Ada orang yang beribadah dan melakukan perintah Allah serta menghentikan larangan-Nya karena mengharap pahala dari Allah dan syurga yang dijanjikan-Nya. Ada pula orang melaksanakan ibadah karena rasa malu kepada Allah dan semata-mata menjalankan perintah-Nya.

“Hal ini didukung oleh syukur kepada Allah yang disertai perasaan bahwa dirinya rendah dihadapan-Nya serta hatinya merasa harap kepada Allah. Itulah ciri ibadah yang dilakukan orang yang mengharapkan keridlaan Allah di dunia dan akhirat,” lanjutnya. 

Lebih lanjut Nur Tamami menjelaskan bahwa sifat ikhlas adalah buah dari sikap ihsan dalam melaknakan ibadah. Untuk melahirkan ihsan dalam ibadah yang meningkat menjadi ikhlas, seseorang perlu meningkatkan iman dengan meyakini rukun iman secara benar sehingga ia menjadi mukmin.

“Setelah itu, ia menjalankan rukun Islam dengan baik dan sempurna sehingga ia menjadi muslim. Kemudian ia berupaya menciptakan sikap ihsan dalam melaksanakan ibadah sehingga ia menjadi muhsin. Apabila ia telah mampu melaksanakan ibadah semata-mata karena perintah Allah, mengharap keridlaan-Nya, ia telah mengikat dari muhsin menjadi mukhlis,” tegasnya.

Terkait riya’ Nur Tamami menjelaskan bahwa riya’ merupakan virus pahala ibadah. Riya’ merupakan penyakit rohani yang bersumber dari beberapa faktor, yaitu cinta pujian, takut dicela dan dihina dina, thama’ terhadap apa yang ada pada manusia .

“Seorang hamba bahwasanya dia tidak akan mendapatkan apa yang ada pada manusia dengan menaati Tuhannya kecuali bila mereka memujinya karena ketaatan itu, maka merekapun memberikan hartanya kepada orang lain,” tambahnya.

Dijelaskan Nur Tamami, riya’ memiliki wajah yang bervariatif, riya’ dengan badan, gaya, ucapan dan amal. Orang terkuat dalam menyingkirkan riya’ adalah orang yang mengingat pengetahuan makhluk dan merasa cukup dengan pengetahuan kholiq.

“Orang terkuat berikutnya adalah orang yang menolak terhadap godaan untuk suka terhadap pujian dan takut terhadap celaan, dengan menyukai pahala dan takut dari celaan Tuhan. Dan orang terkuat ketiga adalah yang menolak ketika setan menggodanya untuk menerima setelah berkorbannya rasa suka kepada pujian dan takut pada celaan,” ungkapnya.

Dikatakan Nur Tamami, virus ini dapat dihilangkan dengan menggabungkan ma’rifah (mengetahui) dan karohah (membenci). Jadi, pada dasarnya sebuah amal ibadah tergantung pada niat yang timbul dalam hati seseorang hamba.

“Kebaikan yang tidak diniati dengan “ karena Allah” adalah kebaikan fatamorgana. Karena bagaimanapun hebatnya seseorang, semua yang ia miliki adalah karunia Allah SWT yang wajib disyukuri, bukan sebagai ajang kompetisi menarik pujian dan pemujaan makhluk Allah SWT,” pungkasnya.


Redaktur     : Mukafi Niam
Kontributor : Syamsul Akbar