Daerah

Ini Langkah Pemulihan Psikologis terkait Komunikasi Indonesia dan Tiongkok

Ahad, 19 Januari 2020 | 03:45 WIB

Ini Langkah Pemulihan Psikologis terkait Komunikasi Indonesia dan Tiongkok

(Foto: NU Online/Husni Sahal)

Jakarta, NU Online
Ardhitya Eduard Yeremia Lalisang (dosen hubungan internasional Universitas Indonesia) mengatakan bahwa komunikasi masyarakat Indonesia dan warga Tiongkok masih mengalami hambatan. Hal ini tidak lepas pembekuan diplomatik selama 23 tahun antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Tiongkok.

Hal ini disampaikan pada diskusi bertema Membincang Relasi Indonesia–China yang diadakan Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama (LBM PWNU) Provinsi DKI Jakarta di Aula The Wahid Institute, Matraman, Jakarta, Kamis (16/1) pagi.

Tampak hadir sebagai narasumber Budy Sugandi (kandidat Doktor Southwest University, China), Azmi Abu Bakar (pakar literasi China), dan Ardhitya Eduard Yeremia Lalisang.

Ardhitya mengatakan bahwa keduanya perlu memperluas cakupan interaksi dengan diplomasi multijalur, yaitu militer, akademisi, organisasi nonpemerintah, warga, dan kelompok bisnis, budaywan, seniman.

”Peran NU dapat memperluas cakupan interaksi Indonesia dan Tiongkok, terkhusus interaksi komunitas Muslim China dan Indonesia, meningkatkan kualitas interaksi. PCINU Tiongkok mengambil peran dalam menjembatani, menghubungkan, memediasi, memunculkan diskursus alternatif, dan memperkaya diskusi tentang China,” kata Ardhitya.

Ketua LBM PWNU DKI Jakarta KH Mukti Ali mengatakan bahwa diskusi ini bertujuan untuk memetakan berbagai persoalan yang terkait dengan relasi Indonesia dan Tiongkok, agar publik mendapatkan pengetahuan yang memadai, tidak mudah terhasut hoaks, dan kritis terhadap berbagai berita.

Kita ingin mempererat persatuan dan kesatuan seluruh warga negara Indonesia yang terdiri atas berbagai suku, agama, dan ras sebagai pengejawantahan ukhuwah wathaniyah; dan menjaga hubungan baik antara Indonesia dan Tiongkok sebagai hubungan persaudaraan sesama manusia (ukhuwah basyariyah).

“Dengan demikian hubungan keduanya tetap kondusif dan produktif dalam menjalin kerja sama antara Indonesia dan Tiongkok yang saling menguntungkan secara timbal-balik (reciprocal) tanpa ada yang dirugikan, investasi, dan hubungan bilateral serta pendidikan. Kita ingin hubungan antara Indonesia dan Tiongkok dibangun atas dasar kesetaraan, saling hormat menghormati kedaulatan masing-masing,” kata Mukti.

Adapun beberapa hal penting yang harus dilakukan sebagai tindak lanjut setelah diskusi ini. Pertama, perlunya penelitian lebih lanjut di berbagai wilayah di Indonesia, baik di Jawa maupun luar Jawa yang terdapat mengerasnya pandangan keagamaan fundamentalis yang mengakibatkan intoleransi antarumat beragama dan antaretnis dan ras di Indonesia. 

Kedua, diperlukan diskusi keagamaan dalam format bahtsul masail untuk mengkaji pandangan-pandangan keagamaan inklusif. Ketiga, sosialisasi hasil bahtsul masail guna membangun pemahaman, kesadaran, di tengah masyarakat terkait pentingnya membangun pemahaman keagamaan inklusif di tengah masyarakat dan mampu meredam ideologi kebencian di masyarakat.

Keempat, memperluas cakupan interaksi antara muslim cina dan Indonesia. Kelima, meningkatkan kualitas interaksi Indonesia–Tiongkok dengan membuka perwakilan PCINU di Tiongkok, dan melakukan pertukaran dai NU untuk membuka ruang inklusif dan membantu pemerintah Tiongkok dalam program deradikalisasi dan menghentikan separatisme di Tiongkok atas nama agama. 

Azmi Abu Bakar menambahkan, hubungan Indonesia-China sudah berlangsung ribuan tahun. Pengaruh China terlihat dalam pakaian, kuliner, dan tradisi. Soekarno sendiri mengidolakan Doktor Sun Yat Sen, baik cara orasi maupun pemikirannya.

“Bukan hanya China berjasa dan memberi pengaruh kepada Indonesia. Sebaliknya, Indonesia pun berjasa kepada China. Raja Sriwijaya membantu China dalam membangun sebuah kuil besar dan pembangunan infrastruktur pertanian untuk mensuport perekonomian warga setempat. Universitas Nanyang di Singapure dan universitas Xiamen China yang didirikan oleh Tan Kahkee yang dalam sejarahnya pernah diselamatkan oleh penduduk Indonesia di saat Tiongkok dijajah Jepang. Ia lari ke Indonesia dan bermukim di Batu Malang. Setelah Jepang menyerah, dan Tan Kah Kee diantar pulang ke Singapura,” kata  Azmi Abu Bakar.
 

Pewarta: Alhafiz Kurniawan
Editor: Abdullah Alawi