Bone, NU Online
Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan (Sulsel) akan memasuki usia 689 tahun. Menyambut hajatan besar tersebut, Pimpinan Cabang (PC) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) setempat mengadakan dialog refleksi.
Kegiatan menghadirkan dua narasumber, yakni Muslihin Sultan, sebagai dosen sekaligus Kepala Pusat Pengembangan Bahasa P3M Institut Aagama Islam Negeri Bone, dan juga Rahmatunnair, yang sering mengkaji dan meneliti sejarah Kerajaan Bone.
"Petta Kalie berasal dari dua kata, yakni Petta yang artinya gelar, derajat, dan penghormatan. Sedangkan Kalie berasal dari bahasa Arab, yaitu qadhi yang artinya orang alim atau ulama,” kata Muslihin Sultan, Jumat (29/3).
Namun karena menjadi bahasa keseharian masyarakat, sehingga kata qadhi berubah menjadi kali. “Sebuah gelar yang diberikan kepada seseorang yang ahli dalam ilmu agama atau ulama,” jelasnya.
Munculnya istilah Petta Kali atau ulama adalah sebagai bentuk islamisasi kerajaan Bone yang dipelopori ulama Kerajaan Gowa Tallo, yakni Syekh Faqih Amrullah. “Beliau adalah putra Syekh Muhsin dan I Mengkalingaan Sultan Abdullah," paparnya.
Petta Kali memiliki tugas dalam struktur kerajaan. “Selain bertugas mendampingi raja, memiliki peran penting dalam kerjaan seperti parewa sara atau pangadereng yang menyempurnakan acara adat," jelasnya.
Rahmatunnair menceritakan sejarah pondok pesantren, serta kaitannya dengan ulama. "Pondok pesantren merupakan istilah yang muncul di Indonesia, terinspirasi dari kata padepokan yang dimaknai sebagai tempat berdiam diri untuk belajar ilmu keagamaan ataupun ilmu lain,” urainya.
Dalam paparannya, pondok pesantren merupakan sentral atau basis pengkaderan ulama. “Lebih dari itu, juga menghasilkan ulama yang dikhususkan pada tataran struktur kerajaan atau pemerintahan yang diberi julukan petta kali," ungkapnya.
Inilah yang menyebabkan petta kali mendapatkan peran penting dalam kerajaan. “Karena didikannya memang dikhususkan untuk wilayah politik pemerintahan, agar terjadi keseimbangan antara sosial dan politik,” tandas dosen IAIN Bone ini.
Di penghujung diskusi, ada rekomendasi untuk melakukan kegiatan pendataan ataupun membuat forum ulama tingkat kabupaten sampai ke desa.
Herman DP, selaku Ketua PC IPNU Bone mengemukakan dari diskusi diharapkan kalangan pemuda, khususnya pelajar dapat memahami ulama, serta perannya di kerajaan Bone di masa lampau.
“Kegiatan ini diharapkan mampu menjadi pemantik agar pemuda mampu terobsesi dalam mempelajari dan mengkaji sejarah," tutur Herman.
Kegiatan diselenggarakan di Kusuka Cafe, jalan Merdeka. Sejumlah kalangan pemuda turut hadir di antaranya pelajar, aktivis, akademisi dan LSM, termasuk Fatayat NU. (Ibnu Nawawi)