Daerah

Isi Lengkap Surat Penentuan Sikap LBMNU Gunungkidul terkait Pimpinan Jamaah Aolia

Rab, 10 April 2024 | 02:40 WIB

Isi Lengkap Surat Penentuan Sikap LBMNU Gunungkidul terkait Pimpinan Jamaah Aolia

Pertemuan PWNU Yogyakarta, LBMNU dan PCNU Gunungkidul dengan pimpinan jamaah Aolia, KH Ibnu Hajar Pranolo (Mbah Benu), Ahad (7/4/2024) (Foto: LTN NU Yogyakarta)

Gunungkidul, NU Online
Selain bertabayun dengan pimpinan jamaah Aolia, KH Ibnu Hajar Pranolo (Mbah Benu), Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Yogyakarta juga memberikan surat penentuan sikap berdasarkan keputusan Lembaga Bahstul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Gunungkidul.


Dalam surat bernomor 03/LBMNU/A.I/AB.4/IV/2024 dan dikeluarkan di Wonosari 27 Ramadhan 1445 H atau 7 April 2024 M, LBMNU Gunungkidul menyatakan adanya berita yang beredar baik di sosial media maupun di masyarakat Gunungkidul terkait dengan adanya perayaan Idul Fitri yang dilaksanakan oleh sebagian masyarakat yang berada di Kapanewon Panggang di bawah asuhan KH Ibnu Hajar Pranolo yang tergabung dalam jamaah masjid Aola yang telah dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 5 April 2024.


Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Pengurus Cabang Kabupaten Gunungkidul menyatakan beberapa poin yaitu: 

 

Pertama, penentuan 1 Syawal dengan cara tersebut di atas tidak bisa dibenarkan,karena tidak sesuai atau menyalahi dengan metode penentuan 1 Syawal  yang mu’tabar menurut syariat agama Islam.

 

"Perlu diketahui bahwa penentuan 1 Syawal menurut metede Syariat Islam meliputi 2 cara yaitu Bisabilil umum (seluruh umat Islam wajib mengikuti) ada 2 yaitu: (1) Ikmalu Syahri Ramadhan (menyempurnakana jumlah hari di bulan Ramadhan menjadi 30 hari ketika rukyatul hilal tidak bisa dilaksanakan); (2) Tsubutu rukyatil hilal (ketetapan melihat bulan) dengan catatan sudah ditetapkan oleh hakim atau pemerintah," demikian dikutip dari surat yang ditandatagani Ketua Taufieq Hidayat dan Sekretaris Salim Nabhan.


Selanjutnya disebutkan penentuan 1 Syawal berdasarkan Bisabilil khusus (seluruh umat Islam tidak wajib mengikuti) hanya pelaku dan orang yang meyakini, yakni: (1) Hisab (penentuan awal Ramadhan dan awal Syawal dengan berpijak pada perputaran bulan); (2), Ahli nujum yang dalam penentuan awal bulan dengan menggunakan rasi bintang; (3). Rukyatul hilal (melihat bulan) akan tetapi tidak ditetapkan oleh hakim atau pemerintah.


Kedua, bagi para pengikut jamaah tersebut yang telah melakukan Idul Fitri masih tetap berkewajiban melaksanakan puasa fardhu bulan Ramadhan untuk sisa waktu sampai dengan keputusan Idul Fitri yang ditetapkan oleh pemerintah, dan meng-qadla puasa yang ditinggalkannya sebelum penetapan 1 Syawal oleh pemerintah.


Ketiga, memperingatkan agar hal serupa tidak dilakukan lagi di kemudian hari, karena jelas-jelas tidak sesuai syariat dan membingungkan umat. 


Sebelumnya diberitakan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta (PWNU DIY) mengutus Lembaga Penyuluh dan Bantuan Hukum (LPBH) Nahdlatul Ulama (NU) Gunungkidul untuk menemui pimpinan jamaah Aolia dan bertabayun dengan KH Ibnu Hajar Pranolo (Mbah Benu) di kediamannya, di Padukuhan Panggang III, Kelurahan Giriharjo, Panggang, Kabupaten Gunungkidul, Ahad (7/4/24).


Tabayun ini dilakukan setelah viralnya video Mbah Benu yang mengaku menelepon Allah swt untuk penentuan 1 Syawal 1445 H.


Dalam pertemuan itu, Mbah Benu menyatakan berkomitmen kembali kepada ajaran al-haq, yaitu ajaran yang bersumber Al-Qur'an dan hadist. Mbah Benu juga sudah menyatakan akan tetap berkomitmen untuk menjaga persatuan dan keutuhan NKRI tanpa membuat ucapan dan tindakan yang kontroversial.

 

Menanggapi viralnya pernyataan Mbah Benu, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Fahrur Rozi atau Gus Fahrur berharap semua umat Islam khususnya tokoh agama harus beribadah sesuai ajaran agama Islam yang benar, menggunakan ilmu, dan akal sehat.


"Tidak boleh mempermainkan ajaran agama Islam termasuk berdalih telah berbicara langsung dengan Allah swt," kata Gus Fahrur, Sabtu (6/4/2024).


Menurut Gus Fahrur, seseorang tidak bisa secara asal-asalan mengaku sudah berkomunikasi langsung dengan Gusti Allah. "Pengakuan semacam itu tidak sah dan tidak boleh dijadikan dasar tuntunan agama," tegasnya.


Ibadah dalam Islam, lanjutnya, harus sesuai tuntunan syariat yang dipahami dengan ilmu-ilmu standar ajaran agama Islam yang sudah jelas dalil-dalilnya dan garis-garisnya.