Daerah

Kala Wagub Jatim Kenang Sosok Gus Sholah

NU Online  ·  Selasa, 17 Maret 2020 | 14:00 WIB

Kala Wagub Jatim Kenang Sosok Gus Sholah

Para kiai dan Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak membedah pemikiran Almarhum KH Salahudin Wahid (Gus Sholah) di Pandagiling, Kota Surabaya, Jawa Timur beberapa waktu lalu. (Foto: istimewa)

Surabaya, NU Online
Para kiai dan Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak membedah pemikiran Almarhum KH Salahudin Wahid (Gus Sholah) di Pandagiling, Kota Surabaya, Jawa Timur, Jumat (13/3). Kegiatan dilakukan dalam rangka mengenang 40 hari wafatnya pengasuh pesantren Tebuireng tersebut. 

Emil mengatakan, dirinya dan masyarakat Jawa Timur kehilangan sosok Gus Sholah, bahkan masyarakat teramat mencintai almarhum. Hal itu dibuktikan dari membludaknya acara tahlil dan doa bersama yang ditujukan khusus untuk Gus Sholah. Menurut Emil, Gus Sholah adalah kiai yang hobi berdiskusi dengan ragam persoalan termasuk tentang sains dan tekhnologi. 

"Mudah-mudahan ini bisa kita teruskan bersama di Jatim. Ibu gubernur juga menekankan pentingnya pendidikan di pondok pesantren dalam program pengembangan sumber daya manusia kita," kata Emil seperti rilis yang diterima NU Online, Senin (16/3).

Gus Sholah sendiri lanjut Emil merupakan sosok teknokrat dengan gelar Insinyur dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Selain teknokrat, jiwa santri Gus Sholah sangat kental.

"Berapa kali beliau lebih mengutamakan pesantren ketimbang hal-hal yang lebih diutamakan menurut tolok ukur orang teknokrat," ucapnya. 

Emil kemudian mengenang sosok Gus Sholah, kata dia dalam suatu ketika dirinya sowan ke kediaman Gus Sholah bersama ayahnya. Dia langsung terpukau terhadap gagasan Gus Sholah terkait pembangunan ekonomi dan teknologi. 

"Saya ingat pada suatu kesempatan sowan ke Gus Sholah selaku senior ayah saya di ITB. Gus Sholah adalah sosok teknokrat lulusan salah satu universitas terbaik di Indonesia," tuturnya. 

Tidak hanya itu, Gus Sholah memiliki reputasi sebagai tokoh politik dan pernah maju sebagai Calon Wakil Presiden RI di Pemilu 2004 lalu.  Hal itu menunjukan sosok Almarhum yang memiliki kompetensi di dunia politik dengan sangat baik. 

"Ini yang menjadi harapan dan keinginan besar almarhum Kiai Sholah. Beliau punya insting tajam mengenai politik tapi juga punya idealisme tinggi. Jatim tidak bisa dipisahkan dari NU. Idealisme luar biasa dari seorang Kiai Sholah," papar Wagub Emil. 

Dalam kesempatan tersebut sebuah buku bertajuk 'Gus Sholah Sosok Teknokrat' menjadi tanda pengenang 40 hari almarhum. Para kiai mengupas utuh perjalanan Gus Sholah sebagai salah satu cucu pendiri Pondok Pesantren Tebuireng KH Hasyim Asy'ari.

Para kiai menekankan esensi kehidupan pesantren berseiring - bukan mengikuti, tetapi justru bisa membawa relevansi, di tiap perkembangan zaman.

Acara doa dipimpin Pengasuh Ponpes Darus Sa'adah KH Abduttawwab dan dihadiri Wagub Jatim, Emil Elestianto Dadak, Prof Dr Nasihin Hasan dan KH Masykur Hasyim serta tokoh ulama.

Sementara itu, Pengasuh Pondok Pesantren Almasyuriyah Tebuireng KH Agus Zakki Hadzik mengajak semua yang hadir membaca utuh sosok Gus Sholah. Bagi dia, Gus Sholah adalah orang hebat karena ilmunya yang langsung diwariskan dari Rais Akbar Nahdlarul Ulama KH Hasyim Asy'ari. Gus Sholah pun ikut serta dalam membangun dan mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. 

"Saya sering mengkaji tentang Tebuireng yang berdiri 1899 oleh KH Hasyim Asy'ari. Pada usia 28 tahun beliau sudah menjadi kiblatnya kiai seluruh Indonesia. Bagaimana bisa KH Hasyim bisa menjadi macan pada usia tersebut?," ujar KH Agus.

Menurut KH Agus Zakki, ada dua penyebab. Pertama, karena zaman tidak sama. Kedua, karena mental tidak sama. 

"Lalu apakah kita tidak bisa menjadi macan?  Bisa. Tetapi dengan caranya masing-masing. Kita tarik sekarang anak kita pada usia 28 tahun belum tuntas dengan dirinya sendiri," terangnya.

KH Hasyim Asy'ari telah melahirkan keturunan-keturunan yang menjadi macan. Rahasianya, KH Hasyim Asy'ari tidak pernah pergi jauh untuk mencari uang kecuali hanya untuk mengaji, silaturahmi atau menimba ilmu. Bahkan, menurutnya, KH Hasyim jika mengirim hasil panen cukup melalui surat. 

"Saya panen beras sekian cikar tolong diterima. Tidak pernah menerima uang langsung tapi melalui santri. Sehingga jiwa Haddratusy Syekh sang kiai tetap terjaga tidak hubbud dunya," imbuhnya.

Editor: Fathoni Ahmad