Daerah

Kamus Al-Munawwir Dibuat di Zaman Serbarepot

Sel, 28 Oktober 2014 | 02:04 WIB

Yogyakarata, NU Online
Sejak diterbitkan secara massal pertama kali pada 1980-an, baru kali ini kamus fenomenal Al-Munawwir dibedah. Acara bedah kamus yang menjadi pembuka rangkaian Harlah XX Kopontren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta ini adalah salah satu upaya menjaga karya besar peninggalan sesepuh.
<>
Demikian disampaikan Gus Kholid Rozaq selaku penasihat Kopontren Al-Munawwir Krapyak yang juga menantu penyusun kamus tersebut, KH Ahmad Warsun Munawwir.

Dalam acara yang digelar, Ahad (26/10), di Yogyakarta ini hadir dua narasumber seagai pembedah Kamus Al-Munawwir, yakni penyusun Kamus Al-Bisri, KH Munawwir Abdul Fattah; serta KH Ali As’ad, pengasuh Pesantren Nailul Ula Plosokuning yang telah masyhur kehandalannya dalam dunia penerjemahan Bahasa Arab.

“Kamus Al-Munawwir disusun oleh almarhum Mbah Warsun selama kurang lebih sepuluh tahun,” demikian ungkap KH Munawwir Abdul Fattah yang pernah menjadi sekretaris KH A. Warsun Munawwir.

Kiai yang akrab disapa Pak Awing ini menambahkan, pada masa itu penyusunan kamus sangatlah repot. Bukan hanya proses pengetikan yang masih manual, tetapi juga penyetakkan dan pemasaran yang masih digarap sendiri dari pintu ke pintu. “Saat itu belum ada penerbit yang berani menggarap kamus setebal seribuan halaman lebih itu,” tuturnya.

Sebelum era Kamus Al-Munawwir, belum ada kamus yang cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan dunia penerjemahan di Nusantara. Baru ada Kamus Marbawi Arab-Melayu dan Kamus Abdullah bin Nuh yang masih sangat minim kosakata bahasa. Atas dasar kebutuhan zaman dan niat nasyrul ilmi, KH Ahmad Warsun Munawwir mulai menyusun kamus lengkap itu ketika ia berusia 26-an tahun di bawah pengawasan guru satu-satunya, KH Ali Maksum.

Setelah Pak Awing mengisahkan tentang seluk beluk kelahiran Kamus Al-Munawwir, KH Ali As’ad membedah kamus yang tiap tahun dicetak 20.000 eksemplar ini dari segi penyusunan, baik kelebihan dan kekurangannya.

Menurutnya, kamus terlengkap di Indonesia tersebut bukan kamus bagi orang awam karena secara alfabetis disusun dengan pola akar kata. Untuk mengetahui akar suatu kata, tentu seseorang setidaknya harus dibekali dasar-dasar ilmu nahwu dan sharaf.

Meskipun penyusunan Kamus Al-Munawwir harus tetap bertahan pada makna dasar suatu kata, namun pengembangan kamus ini harus terus diupayakan, kata beliau. Adanya fasilitas komputerisasi bisa menjadi batu loncatan Kamus Al-Munawwir agar penggunaannya bisa meluas, sehingga diharapkan bisa menggeser kemasyhuran Kamus Munjid karya Louis Ma’louf di dunia internasional.

Kedua narasumber memancing gairah menulis 150-an hadirin yang siang itu memenuhi Aula G Pondok Pesantren Al-Munawwir dengan berbagai motivasi. Keberadaan Kamus Al-Munawwir bisa menjadi pemantik bagi lahirnya kamus-kamus lain dalam tema dan warna yang berbeda-beda. Kabar terbaru, saat ini sedang berlangsung proyek penerbitan Kamus Al-Munawwir edisi luks dan Kamus Al-Munawwir Mini yang mudah dibawa kemana-mana. (Zia Ul Haq/Mahbib)