Jember, NU Online
Pengajian usai shalat Subuh, Ahad (25/3) di Masjid Raudlatul Mukhlisin Jember, Jawa Timur berlangsung meriah. Tidak kurang, 300 jamaah mengikuti pengajian yang rutin diasuh beberapa kiai di Jember, salah satunya Kiai MN Harisudin.
Pada kesempatan tersebut, Kiai Harisudin menjelaskan hukum minyak wangi atau parfum beralkohol berdasarkan kitab Bughyatul Mustarsyidin halaman 52 yang menerangkan pembagian najis.
Dalam kitab tersebut, Al-Allamah Sayyid Abdurrahman Ba'alawi selaku pengarang atau muallaif menjelaskan empat bagian najis. “Yang pertama, najis yang tidak dimaafkan secara mutlak,” kata Katib Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Jember tersebut.
Masuk dalam kategori ini adalah najis bangkai binatang, darah, anjing, babi, minuman keras, kotoran manusia, kotoran hewan, kencing, madzi, wadi, dan sebagainya. “Najis ini tidak dimaafkan karena dalam kondisi normal, terlihat oleh mata dan tidak ada kesulitan untuk menghindarinya,“ jelas Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Kaliwates tersebut.
Yang kedua, lanjut Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur tersebut, najis yang dimaafkan (ditoleransi) secara mutlak. “Bagian yang kedua ini adalah najis yang tidak terlihat oleh mata. Jadi, kalau tidak kelihatan di lantai atau di baju misalnya, najis-najis yang tadi telah disebut itu dimaafkan,” kata kiai muda yang juga pengurus Majlis Ulama Indonesia Kabupaten Jember ini.
Sedangkan ketiga yakni najis yang tidak dimaafkan ketika masuk ke dalam air dan dimaafkan ketika mengenai baju atau pakaian. “Najis ini misalnya darah yang sedikit. Kalau mengenai air, darah yang sedikit ini tidak dimaafkan karena mudah untuk menghindarinya,” ungkapnya.
Akan tetapi kalau darah sedikit ini mengenai baju, maka dimaafkan. “Artinya tidak apa-apa kalau mengenai baju atau pakaian kita”, jelas Kiai Harisudin yang juga Sekjen Pengurus Pusat Keluarga Alumni Ma’had Aly (Kamaly) Situbondo.
Untuk kategori terakhir adalah najis yang dimaafkan ketika mengenai air, tapi tidak dimaafkan ketika kena baju. Contohnya bangkai hewan yang tidak memiliki darah mengalir seperti cecak, kecoak, dan sebagainya. “Kalau bangkai ini masuk air, ya dimaafkan. Tapi, kalau bangkai hewan ini mengenai baju tidak dimaafkan sehingga jika dipakai shalat maka shalatnya menjadi tidak sah,” ulas Kepala Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah IAIN Jember tersebut.
Nah, bagaimana dengan hukum minyak wangi beralkohol? Mengutip keputusan Muktamar NU pada 25-29 Desember 1962 di Solo, Kiai Harisudin menjelaskan bahwa hukum menggunakan minyak wangi yang bercampur dengan alkohol sekedar untuk menjaga kebaikannya, adalah dimaafkan.
“Pada saat itu, peserta Muktamar menggunakan banyak maraji’. Salah satunya adalah kitab al-Fiqh ala Madzahibul Arba’ah yang menjelaskan bahwa cairan najis yang dicampur dengan obat-obatan dan parfum dengan kadar yang diperlukan adalah dimaafkan,” pungkasnya. (Shohibul Ulum/Ibnu Nawawi)