Daerah PROFIL RAIS SYURIAH SOLORAYA

KH Ahmad Baidlowi: Jago Kaligrafi, Kagumi Habib Anis

Sel, 1 Oktober 2013 | 03:00 WIB

Sukoharjo, NU Online
Boleh diakui, orang Jawa Timur banyak mewarnai nadi kehidupan Nahdlatul Ulama (NU) di daerah Soloraya. Setelah bulan lalu, kami bertemu dengan Rais Syuriah PCNU Solo, yang merupakan putera Madura. Tokoh yang kedua yang kami temui yakni seorang arek Pasuruan, KH Ahmad Baidlowi, Rais Syuriah PCNU Kabupaten Sukoharjo.
<>
Saat NU Online menyambangi rumahnya di daerah Telukan Grogol Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu (13/9), tulisan kaligrafi banyak menghiasi sudut rumahnya, tidak hanya di tembok, bahkan di eternit pun tak luput dari hiasan tulisan Arab yang melingkari lampu ruangan. Semua itu merupakan karya Kiai Baidlowi dan para santrinya.

“Bakat saya dalam kaligrafi ini sudah muncul sejak saya nyantri di Pesantren Al-Falah Pasuruan,” ungkap pria kelahiran Pasuruan, 47 tahun lalu tersebut.

Bahkan, bakatnya di bidang kaligrafi ini dipakai oleh sekitar 3.500 masjid. Sejak 1993 – 2011, penulis kaligrafi khot Al-Ayati Al Qur’aniyya ini menuliskan kaligrafi di Masjid di daerah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera, Lombok dan Sumbawa.

Pada kurun waktu itu pula, perjalanan hidupnya terus bergulir. Dimulai ketika pada tahun 1988, ia diperintahkan untuk hijrah ke Solo. Oleh salah seorang habib, dia kemudian dibawa ke tempat Habib Anis bin Alwi, cucu penulis Simtuddurar Habib Ali al-Habsyi.

Bimbingan Habib Anis

Di Kompleks Masjid Riyadh, yang menjadi kediaman Habib Anis, sehari-hari ia berkutat dengan segala kegiatan yang ada. Mengikuti kajian, melayani jamaah, mengantarkan tamu, dan lain sebagainya. “Hampir selama 7 tahun lebih, saya mengabdi di Masjid Riyadh, menemani Habib Anis. Di sana, saya hampir tidak pernah mengerti dunia luar,” ucap suami Siti Hasanah ini.

Di bawah bimbingan Habib Anis, Baidlowi muda mendapatkan banyak hal. Ketokohan serta akhlak sang guru yang masyhur, membuat dia begitu mengagumi sosok Habib Anis. Baidlowi juga mengenal pribadi Habib Anis sebagai seorang dermawan dan disiplin.

Habib Anis pula yang kemudian memerintahkannya untuk mengembangkan dakwah di Sukoharjo. “Beliau berpesan kepada saya dan Kiai Adib Zain (pengurus idarah Aliyah Jatman), untuk senantiasa bersama, layaknya Nabi Musa dan Harun as,” kenangnya.

Maka setelah pindah ke Sukoharjo, mulailah ia aktif di NU. “Awalnya saya merintis berdirinya MWCNU di Grogol pada tahun 1995,” ungkap ayah 4 anak itu.

Di awal berdirinya NU Grogol, ia menjadi pimpinan Syuriah, sedangkan tanfidziyah dipegang oleh Sofyan Faisal Sifyan. Dari majelis ke majelis, dia mengajak warga untuk masuk ke NU, sampai tahun 2005 di bawah pimpinannya menunjukkan perkembangan yang pesat. Sampai pada tahun 2005, dia kemudian diangkat menjadi pengurus syuriah cabang untuk masa periode 2005-2010.

Saat kembali menjadi syuriah pada periode keduanya, Rais Syuriyah PCNU Sukoharjo, KH Maksum Waladi wafat. Selang beberapa waktu, Kiai Baidlowi dipilih untuk mengisi posisi Rais, setidaknya hingga tahun 2015 nanti.

Aktif dan Terus Berkarya

Selain aktif di kepengurusan PCNU Sukoharjo, saat ini dirinya juga aktif sebagai pengurus salah satu badan otonom NU, Jam'iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mu'tabaroh an-Nahdliyah (Jatman) Idaroh Wustho Jawa Tengah.

Di luar NU, Kiai Baidlowi menjadi pengurus di MUI Sukoharjo dan pernah pula menjabat sebagai ketua Fahmi Tamami (Forum Silaturrahmi Ta'mir Masjid dan Musholla Indonesia) Surakarta.

“Dulu banyak teman yang mempertanyakan, waktu masuk di Fahmi Tamami, karena di dalamnya banyak sekali ormas Islam, seperti MTA, Muhammadiyah dan sebagainya. Takutnya saya dimanfaatkan oleh mereka. Tapi saya berpikiran positif saja,” terangnya.

Namun, segala kesibukannya di berbagai organisasi tersebut, tak membuat dirinya lupa akan kewajibannya untuk berdakwah. Selain di Masjid at-Taubah di dekat rumahnya, dia juga membina beberapa majelis ta’lim di Sukoharjo, Solo dan sekitarnya. “Dari dulu saya biasanya merintis majelis ta’lim. Kalau sudah berkembang baik dan kuat, saya tinggalkan untuk kembali merintis dan mengembangkan majelis baru,” paparnya.

Kiai yang mahir berbahasa Arab ini juga berkarya melalui tulisan. Salah satunya buku Reroncening Mutiyara, yakni terjemahan kitab maulid Maulid Simtuddurar dalam bahasa Jawa.

Terus berkarya, itu pula yang dia pesankan di akhir perbincangan kami. “Khususnya untuk anak muda, banyaklah berkarya dan aktif dalam kegiatan yang positif,” pungkasnya. (Ajie Najmuddin/Mahbib)