Blitar, NU Online
KH Syaikuddin Rohman mengatakan, umat Islam memiliki kewajiban untuk memperhatikan dan menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Orang yang mengabaikannya termasuk pendusta agama seperti yang dijelaskan Allah SWT dalam surat Al-Ma’un.
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? (1) Itulah orang yang menghardik anak yatim, (2) dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (3) Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (4) (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, (5) orang-orang yang berbuat ria. (6) dan enggan (menolong dengan) barang berguna.(7)” sitir Kiai Syaikuddin Rohman dihadapan ratusan warga NU dan Muslimat NU peserta Lailatul Ijtima’ MWC NU Udanawu di Sekretariat MWC NU Udanawu 5/10 tadi malam. Kegiatan ini diselenggarakan setiap sebulan sekali.
Surat ini turun, kata Kiai Cikut, panggilan akrabanya, berkaitan dengan salah seorang kaum Kafir Mekkah yang setiap minggu menyembelih seekor unta. Suatu ketika, seorang anak yatim datang meminta sedikit daging yang telah disembelih itu. Namun, ia tidak diberinya bahkan dihardik dan diusir.
“Contohnya Abu Jahal dan Abu Lahab apabila ada anak yatim hartanya dikumpulkan. Katanya harta tersebut akan dikembalikan apabila mereka sudah besar. Namun dalam kenyataannya, setelah mereka besar, hartanya diminta tidak diberikan dengan berbagai alasan,’’ jelas Musytasar MWCNU Udanawu Blitar ini.
Selain itu, lanjut dia, surat ini diturunkan sebagai peringatan bagi mereka yang mengingkari datangnya hari kebangkitan. Karena pengingkaran terhadap hari kebangkitan adalah sumber dari segala kejahatan. Dan akan mendorong manusia untuk melakukan berbagai akhlak yang buruk dan melecehkan kebajikan.
Surat Al-Ma’un menjelaskan tentang beberapa bentuk sikap dan perbuatan yang dapat digolongkan sebagai mendustakan agama. Perbuatan-perbuatan tersebut adalah: menghardik anak yatim dan tidak mau menolong orang miskin yang sedang kelaparan.
Mereka disebut demikian karena menduga bahwa berbuat baik kepada anak yatim dan membantu orang miskin tidak menghasilkan apa-apa. Ini berarti mereka mengingkari adanya hari pembalasan. Padahal agama memerintahkan untuk percaya kepada datangya hari pembalasan. Dan orang yang mengingkari adanya hari pembalasan biasanya akan berlaku seenaknya.
“Dan perbuatan dosa telah menjadi teman hidupnya yang berujung pada kerugian, baik untuk dirinya maupun orang yang ada di sekitarnya. Dan pada akhirnya akan membuat kerusakan tatanan masyarakat yang lebih luas,’’ jelas Kiai Cikut.
Kemudian, mereka yang melalaikan makna shalatnya. Yaitu mereka yang melaksanakan shalat hanya bertujuan untuk riya’ dan mencari pujian orang lain. Perbuatan riya inilah yang menyebabkan manusia kemudian menjadi sombong.
“ Mereka lupa bahwa shalat adalah ibadah yang bertujuan menghilangkan sifat sombong tersebut. Oleh karena itu sifat riya digolongkan sebagai perbuatan syirik kecil,’’ tandasnya.
Perbuatan riya’ dikatergorikan sebagai syirikkecil,ungkap Kiai Cikut, karena di dalamnyamengandung sifat takabur (sombong). Dan orang yang sombong adalah orang yang memuji dirinya sendiri secara berlebihan.Sehingga meniadakan keberadaan Allah yang merupakan sumber dari semua yangia banggakan.
“Seakan-akan semuanyaadalah hasil usahanya sendiri bukan dari Allah,’’ katanya.
Sebab yang kedua sehingga seseorang dianggap telah melalaikan makna shalat, kata Kiai Cikut adalah enggan memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan.
“Yang dimaksud dari kata Al-Ma’un dalam ayat ini adalah bantuan yang kecil sifatnya. Memberikan bantuan yang kecil saja mereka enggan, apalagi bantuan yang besar. Alangkah kikirnya orang yangdemikian,’’ jelasnya.
Kedua hal di atas merupakan tanda-tanda tidak menghayati makna dan tujuan shalat karena sesungguhnya shalat berisikan doa (permohonan). Orang yang berdoa berarti menyatakan dirinya lemah dan butuh bantuan. Oleh karena itu tidak pantas bagi mereka yang shalat untuk berbuat riya’ dan enggan memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan. Padahal mereka sendiri adalah orang-orang yang membutuhkan pertolongan Allah. Sungguh orang yang seperti ini tidak tahu diri. Sama-sama membutuhkan pertolongan namun tidak mau menolong sesama yang membutuhkan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa seseorang dianggap telah menjalankan shalat dengan sempurna apabila telah memenuhi dua syarat berikut: ikhlas melakukannya karena Allah, merasakan kebutuhan yang dirasakan orang-orang lemah dan bersedia membantu mereka.
Dengan demikian, semakin jelas bahwa agama Islam menuntut kebersihan jiwa, kepedulian terhadap lingkungan sekitar dan kerja sama antara sesama makhluk Allah. Karena tanpa itu semua, mereka yang shalat pun akan dinilai sebagai orang yang telah mendustakan agama dan mengingkari hari kebangkitan.(imam kusnin ahmad/abdullah alawi)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Lima Ibadah Sosial yang Dirindukan Surga
2
Khutbah Jumat: Tujuh Amalan yang Terus Mengalir Pahalanya
3
Fantasi Sedarah, Psikiater Jelaskan Faktor Penyebab dan Penanganannya
4
Pergunu Buka Pendaftaran Beasiswa Kuliah di Universitas KH Abdul Chalim Tahun Ajaran 2025
5
Pakai Celana Dalam saat Ihram Wajib Bayar Dam
6
Khutbah Jumat: Jangan Bawa Tujuan Duniawi ke Tanah Suci
Terkini
Lihat Semua