Daerah

Kiai Ma’ruf Khozin Ungkap Alasan Nabi Muhammad Berperang

Sen, 23 Agustus 2021 | 04:30 WIB

Kiai Ma’ruf Khozin Ungkap Alasan Nabi Muhammad Berperang

Ketua Aswaja NU Center Penggurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, KH Ma’ruf Khozin. (Foto: Istimewa)

Surabaya, NU Online 
Ketua Aswaja NU Center Penggurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, KH Ma’ruf Khozin menjawab pertanyaan dari presenter TV9 Putri Chumairoh: kenapa Nabi Muhammad saw banyak melakukan perang? “Sebab saat itu Rasulullah berkali-kali diserang,” balasnya, dalam Kiswah Interaktif TV9. 
 
Ma’ruf menjelaskan, ketika di Makkah, oleh Tuhan Nabi tidak diperbolehkan melawan. Baru ketika sudah hijrah, seperti diabadikan dalam Al-Qur’an, Nabi Muhammad dan pengikutnya diizinkan untuk berperang melawan orang-orang yang selama ini memerangi kaum Muslimin.
 
"Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya, mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya, Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu." (QS. Al-Hajj: 39).
 
“Jadi, perangnya Rasulullah itu bukan memulai perang, tapi Nabi membela diri, Nabi mempertahankan supaya tidak terus dilecehkan. Maka perangnya Rasulullah itu dalam rangka membela, sama persis dengan (perang) 10 November,” ungkap pria yang juga menjadi ketua komisi fatwa MUI Jawa Timur itu, Jumat (20/8).
 
Dijelaskan, peristiwa 10 November 1945 terjadi setelah penjajah dan sekutu NICA datang. Kemudian KH Hasyim Asy’ari dan para kiai lain mengeluarkan Fatwa Jihad sebagai perlawanan. “Jadi bukan NU yang mengawali perang, bukan, tetapi membela diri. Dan namanya membela diri diperbolehkan,” terangnya.
 
Ketika Nabi Muhammad sampai berkali-kali berperang, imbuhnya, itu menunjukkan beliau berkali-kali diserang atau perjanjiannya yang dicederai, dirusak. Bukti hal ini terdapat dalam Al-Qur'an.
 
“Tetapi jika mereka condong kepada perdamaian, maka terimalah dan bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 61).
 
“Muhammad, kalau mereka non-Muslim condong pada damai, maka kamu harus condong pada damai. Coba, ingat, Qur’an ini yang memerintahnya,” tegas Ma’ruf.
 
Ia mengingatkan, di Indonesia ini, agama Konghucu, Katholik, Budha, Kristen, Hindu, mereka condong pada damai. “Maka kita harus ikut damai juga. Tidak boleh ketika agama lain ingin damai lalu kita yang merusak kedamaian terlebih dahulu,” imbuhnya.
 
Alumnus Pesantren Al-Falah, Ploso, Mojo, Kediri, itu juga mengutip perintah Allah SWT di dalam Al-Qur’an agar kaum Muslimin menjadi pelindung.
 
“Dan jika di antara kaum musyrikin ada yang meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah agar dia dapat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya. (Demikian) itu karena sesungguhnya mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. At-Taubah: 6).
 
“Selama mereka orang-orang yang di luar agama kita, agama-agama tadi, mereka istikamah, mereka konsisten menjaga persatuan, kita ndak boleh merusak lebih dulu. Kita diperintah untuk mengikuti itu,” tegas Ma’ruf. 
 
Ia bersyukur di Indonesia orang di luar agama Islam, baik yang resmi ataupun penganut kepercayaan, masih ingin hidup berdampingan. Maka berdasarkan ayat di atas, sesama umat tidak boleh merusak keharmonisan lebih dulu, sebagaimana Kiai Wahab, Kiai As’ad dan para ulama lain yang mempertahankan NKRI. 
 
“Jadi sekali lagi, apa yang dilakukan oleh para ulama kita dalam slogan ‘NKRI harga mati’, kemudian ‘Hidup di Negara Aman itu Nikmat,’ itu ada dalil yang cukup banyak di dalam Al-Qur’an,” tegasnya.
 

Menjaga Perdamaian di Indonesia

Kemudian presenter kembali merespons. Mengingat perdamaian merupakan sebuah kebutuhan di negara Indonesia yang multikultural, beragam dari sisi agama maupun kepercayaan, hal apa saja yang harus diperhatikan untuk menjaga perdamaian?
 
“Yang saya tahu dari teladan Nabi kita, itu umat Islam mengalah,” jawab Ma’ruf.
 
Kemudian ia menjelaskan, bahwa dulu sebelum Rasulullah berhasil memerdekakan Kota Makkah, ada satu perjanjian namanya Hudaibiyah, perjanjian damai di daerah Hudaibiyah.
 
“Kalau kita suatu saat umrah, nanti di antara tempat umrahnya itu bernama Hudaibiyah. Di Hudaibiyah itu, beberapa tahun sebelum Rasulullah wafat, kira-kira hampir satu tahun menjelang wafat, Nabi melakukan perjanjian damai di Hudaibiyah,” lanjutnya.
 
Saat dalam perjanjian itu, Nabi dan para sahabat dirugikan. Misalnya, ketika dalam Perjanjian Hudaibiyah itu ditulis “Muhammad Rasulullah,” orang-orang musyrikin Quraisy tidak mau. “Saya tidak mau ada kalimat Rasulullah. Tolong Rasulullah itu dihapus, diganti Muhammad bin Abdillah,” ungkapnya, menirukan Suhail bin Amr selaku diplomat Quraiys.
 
Di atas kertas, lanjut Ma’ruf, mereka tidak mengakui kalau “Nabi Muhammad utusan Allah”, sehingga mereka meminta kalimat “Rasulullah” dihapus. Para sahabat menolak, tetapi Rasulullah mengalah. “Ya ndak apa-apa, dihapus saja, karena saya utusan Allah tidak perlu pengakuan di atas kertas,” ungkapnya, menggambarkan.
 
Menurutnya, Nabi utusan Allah itu tidak diragukan lagi, maka kemudian mengalah meskipun seolah-olah dirugikan. “Tetapi justru dengan mengalah itu kedamaian tercipta,” imbuh Ma’ruf.
 
Penulis buku Menjawab Amaliah dan Ibadah yang Dituduh Bid’ah itu juga mengingatkan, di Indonesia yang mayoritas Muslim ini tidak perlu sedikit-sedikit marah, sebel dan ngamukan, agar NKRI tetap utuh. Ia mencontohkan, ketika ada beberapa hal kiai-kiai NU mengalah atau legowo terlebih dahulu.
 
Dikatakan, ketika ada beberapa kejadian dan NU tidak mengalah, berarti ada sesuatu yang besar dan tidak bisa ditawar-tawar. Peristiwa Pemberontakan PKI, misalnya, kiai-kiai turun tangan, terjun dari pesantrennya.
 
“Tetapi selama hari ini para kiai masih di pesantren, masih mengaji, berarti masih aman, masih belum ada apa-apa. Itu masih semacam riak-riak dari kehidupan yang kemudian tidak perlu sampai mengarah pada peperangan,” pungkas kiai yang wajahnya kerap tampil di TV9.
 
Kontributor: Ahmad Naufa Khoirul Faizun
Editor: Syamsul Arifin