Opini

Taliban dan Masa Depan Konflik di Afghanistan

Jum, 20 Agustus 2021 | 13:00 WIB

Taliban dan Masa Depan Konflik di Afghanistan

Naiknya Taliban ke kekuasaan semoga mengakhiri konflik Afghanistan.

Taliban akhirnya kembali berkuasa. Dengan mudah dia menguasai ibu kota Kabul tanpa perlawanan. Presiden Ashraf Ghani memilih kabur dan membiarkan Taliban menguasai istana kepresidenan untuk menghindari tumpahnya darah. Seiring dengan itu sebagian warga Kabul berlari menuju bandara udara untuk keluar Afghanistan. Kerumunan yang tidak terkendali menghalangi gerak pesawat untuk take off hingga mengakibatkan nyawa melayang. Jubir Taliban Suhail Shaheen dalam wawancaranya dengan media asing mengatakan, banyaknya kerumunan warga di bandara karena Afghanistan memang negara miskin dan mereka berharap bisa terangkut pesawat (ke Amerika).

 

Terkait kekhawatiran hidup di bawah Taliban, sang jubir berkata bahwa Taliban telah mengeluarkan amnesti umum dan akan membebaskan wanita untuk sekolah dan bekerja. Isu wanita yang banyak menghantui direspon oleh Taliban dengan perubahan pandangan yang tidak lagi mengekang seperti saat dulu mereka berkuasa (1996-2001). Setelah 20 tahun digulingkan, tampak bahwa Taliban tidak sama dengan dahulu yang langsung menerapkan aturan mengekang. Kini, tampak bahwa paham Islam yang dia terapkan mendekat ke yang umum berlaku seperti di Qatar, Saudi Arabia, atau Pakistan, negara tempat mereka banyak bernaung. Ketiga negara tersebut tidak mewajibkan cadar, melarang wanita sekolah, bekerja, melarang sepak bola, catur dan musik. Mengapa pula Taliban dahulu saat berkuasa (1996-2001) melakukan itu?

 

Taliban kini menyadari perlunya menjaga keutuhan bangsa. Taliban kini lebih moderat dan aspiratif bahwa ke depan mereka tidak menolak kritik dari masyarakat atau ada kebebasan berekspresi.

 

Meski demikian Taliban yang mengusung platform Islam perlu menerapkan kepemimpinan Rasulullah yang mengutamakan rekonsiliasi dengan menjaga hubungan lintas suku dan agama. Kemampuan dalam mewujudkan perdamaian inilah yang membuat kehadirannya diharapkan di Madinah.

 

Penunjukan Rasulullah sebagai pemimpin Madinah bahkan terjadi saat beliau di Makkah. Tepatnya ketika utusan dari 12 suku Madinah menghadap beliau dan mengajukan permohonan itu. Mereka meminta nabi untuk menjadi arbitrator atau penyelesai konflik yang kerap terjadi selama 100 tahun (sebelum 620M) terutama antara Bani Khazraj dan Aws. Penerapan qisas dan denda tidak cukup efektif menghentikan pertikaian itu hingga mereka mengangkat orang yang benar-benar berwenang, adil-terpercaya, yaitu Nabi Muhammad.

 

Jika dikaitkan dengan pandangan politik modern tentang alasan berdirinya negara, Raison D’etre kata Ernest Renan, maka alasan berdirinya Negara-kota Madinah adalah membangun masyarakat yang satu yang saling bahu-membahu dalam mengatasi masalah, bersama mempertahankan negara dari serangan luar, memperjuangkan kebutuhan bersama tanpa memandang perbedaan suku dan agama.

 

Kemampuan Rasulullah sebagai rekonsiliator dan negosiator konflik adalah modal awal kepemimpinan beliau dan yang harus dimiliki pemimpin di mana pun. Dalam kisah pembangunan kembali Ka’bah saat usia Rasulullah 35 tahun, dikisahkan bahwa setelah rumah Allah itu roboh oleh banjir (dalam riwayat lain disebutkan oleh kebakaran lantaran seorang wanita menguapi Ka’bah hingga percikan api mengenai kain Ka’bah dan membakar kayu dan seisinya (archive.almanar.com.lb), melihat kondisi itu, kaum Quraish beranjak merenovasi kembali. Mereka mengumpulkan dana dari sumber yang benar-benar halal, bukan hasil rampasan atau riba. Masing-masing kabilah merenovasi bagian tertentu dan menyimpan bongkahan reruntuhan Ka’bah. Dia yang membongkar bagian itu dan dia merenovasi bagian itu pula hingga semua bagian selesai yang Rasulullah terlibat dalam proses itu.


Tiba saat pengembalian Hajar Aswad ke tempat semula, mereka saling berebut hingga nyaris tumpah darah. Muncul ide Abu Umayyah bin al- Mughirah, ayah Ummu Salmah yang di kemudian hari menjadi istri Rasulullah, agar menyelesaikan perselisihan ini orang yang pertama kali masuk Ka’bah esok hari. Hingga didapati Rasulullah Muhammad yang melakukan itu dan mereka semua lega dan gembira:“Telah datang padamu orang yang jujur dan terpercaya yang segala keputusannya kita rela mengikuti”. Rasulullah meminta agar diambilkan kain besar dan meletakkan batu dari surga itu di tengah kain. Beliau lalu memanggil semua perwakilan kabilah untuk memegang ujung kain dan bersama-sama mengangkatnya. Ketika sampai di dekat tempatnya, Rasulullah meletakkan batu itu sendiri. Dengan cara itu, seluruh kabilah puas karena dilibatkan dan Rasulullah menyelamatkan mereka dari tumpahnya darah.

 

Sebelum diangkat menjadi Nabi, Rasulullah sering dipercaya untuk menengahi konflik yang kerap terjadi. Bangsa Arab yang gemar menghunus pedang tunduk dan patuh pada keputusan Muhammad. Suatu hal yang patut menjadi nilai dasar kepemimpinan politik Islam yaitu terpenuhinya aspek integritas-kapasitas dan akseptabilitas-kapabilitas.

 

Naiknya Taliban ke kekuasaan semoga mengakhiri konflik Afghanistan. Hengkangnya Ashraf Ghani dari kepresidenan semoga benar-benar langkah yang tepat demi menghindari tumpahnya darah. Niat Taliban mengajak mantan presiden Hamid Karzai dalam membahas nasib bangsa ke depan memberikan sinyal baik bahwa Taliban tidak lagi memukul tapi merangkul. Sebagaimana Rasulullah tidak memaksakan identitas kelompoknya yang dominan, Sepatutnya Taliban mengusung platform yang disepakati bersama seperti Piagam Madinah. Taliban yang dominan etnis Pastun dituntut melibatkan suku lain: Tajik, Uzbek, Turkmen, Arab, dan lain-lain demi keutuhan Afghanistan. Rekonsiliasi adalah yang utama kini setelah 40 tahun berperang.

 

AchmadMurtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya