Nasional

Menunggu Arah Kebijakan Imarat Islam Afghanistan

Jum, 20 Agustus 2021 | 11:30 WIB

Menunggu Arah Kebijakan Imarat Islam Afghanistan

Mantan Presiden Afghanistan Hamid Karzai dikunjungi petinggi Taliban Anas Haqqani, salah seorang komandan Haqqani Network di Kabul, 18 Agustus 2021 (Foto: Straits Times)

Jakarta, NU Online

Saat ini dunia internasional sedang menunggu kebijakan Imarat Islam Afghanistan (IMIA) dalam mengatasi terorisme yang bercokol di negara itu sejak akhir dekade 1990-an. Pada 1996, pendiri sekaligus pimpinan Al-Qaeda, Osama Bin Laden mulai melakukan aksi teror dari Yaman dan kemudian memindahkan 200 pengikutnya ke Afghanistan pada pertengahan 1996. Ketika itu Afghanistan di bawah Presiden Burhanuddin Rabbani.


“Sampai saat ini, Afghanistan menjadi basis dan persembunyian kelompok militan dan teroris. Ada dua kelompok militan yang menjadikan Afghanistan sebagai basis operasinya yaitu East Turkistan Islamic Party (ETIP-Uighur) dan Islamic Movement of Uzbekistan (IMU). Teroris Al Qaeda tersebar di 15 propinsi di Afghanistan. Pengikut ISIS dari berbagai negara juga hadir di Afghanistan termasuk teroris asal Indonesia,” tulis pengamat intelijen, KH As’ad Said Ali melalui facebooknya, Jumat (20/8).


Kiai As’ad mengungkapkan meski banyak pihak yang meragukan sikap Imarat Islam Afghanistan terhadap teroris dan kaum militan yang bercokol di Afghanistan, namun pernyataan IMIA telah jelas menyatakan sikapnya terhadap terorisme dan mulai memberikan sinyal nyata kepada dunia.


“Pimpinan ISIS Asia Selatan, Abu Omar Al-Khorasani yang mendekam di penjara Pul’i Charki di Kabul sejak setahun lalu, dieksekusi tanpa serenemonial hanya empat hari setelah IMIA menduduki Kabul,” sambung dia.


Penulis buku Al-Qaeda: Tinjauan Sosial-Politik Ideologi dan Sepak Terjangnya, ini menambahkan, penguasa baru Afghanistan ingin menunjukkan kepada dunia internasional bahwa IMIA tidak akan membiarkan wilayahnya dijadikan basis operasi terorisme.


“IMIA juga memberikan isyarat yang sama kepada RRC dan Rusia; IMIA tidak mentolelir kegiatatan East Turkistan Islamic Party (ETIP-UIGHUR) yang menjadi konsern RRC dan aktivitas Islamic Movement of Uzbekistan (IMU) yang menjadi konsern Rusia. Dalam kaitan ini Rusia menyelenggarakan latihan militer dengan Uzbekistan dan Tajikistan, hanya 20 km dari perbatasan Afghanistan seminggu sebelumnya,” ungkap mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) ini.


Amerika Serikat, lanjut Kiai As’ad, juga konsen terhadap kehadiran kekuatan teroris di Afghanistan dalam situasi transisi. Kepala Staf Gabungan, Jenderal Mark Milley menyampaikan kekhawatirannya bahwa dalam situasi transisi, Al-Qaeda dan ISIS membangun kembali kekuatannya.

 

Hal ini mungkin terjadi misalnya Al-Qaeda memindahkan anggotanya yang berlindung di Iran dan menghidupkan kembali jaringan hubungan dengan elemen Taliban di Kandahar, Helman, dan Nimruz yang pernah dilakukan pada masa Mullah Omar.


“Taliban yang berkuasa sekarang ini adalah fraksi Akhundzada, kelompok paling besar dan berpengaruh, dibanding fraksi Hakkani dan Mullah Rasol. Fraksi Akhundzada sejak 2013 membuka kantor atau biro politik di Doha, Qatar dan melakukan kontak dengan negara lain khususnya Amerika Serikat," jelas Kiai As'ad.


Fraksi Akhundzada sejak era Trump melakukan saling kontak berlanjut hingga era Joe Biden. Topik utamanya adalah penarikan pasukan AS dari Afghanistan dan tentu saja konsekuensi dari penarikan tersebut khususnya penanganan teroris dan kelompok militan.


Fraksi Hakkani dan Fraksi Mullah Rasol (relatif kecil), selain tidak terlibat dalam perundingan, juga tidak dilibatkan penyerbuan ke Kabul. Namun seorang tokoh Fraksi Hakkani yaitu Anas Hakkani pada 19 Agustus 2021 tampak dilibatkan dalam perundingan pembentukan pemerintahan. Perkembangan di atas menunjukkan gejala ke mana arah kebijakan Emirat Islam Afghanistan ke depan.


Editor: Fathoni Ahmad