Daerah

Kisah Dai 3T di Mentawai: Masih Kerap Disibukkan soal Khilafiyah dan Furuiyah

Kam, 4 April 2024 | 01:00 WIB

Kisah Dai 3T di Mentawai: Masih Kerap Disibukkan soal Khilafiyah dan Furuiyah

Ustadz Amal Khairat, dai 3T Kemenag di Mentawai, Sumatera Barat. (Foto: dok Direktorat Penais Kemenag)

Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan satu-satunya wilayah kepulauan di Provinsi Sumatera Barat. Mentawai terdiri atas 4 pulau kecil, yaitu Sipora, Siberut, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Sebagian besar masyarakat Mentawai berprofesi sebagai nelayan. Mereka  menggantung hidupnya dari tangkapan ikan di laut. Namun di saat musim-musim tententu, mereka bisa mendapatkan penghasilan dari buah durian, jengkol, cengkeh dan pisang.


Masyarakat Mentawai punya adat yang berbeda dengan adat Minangkabau. Hal ini disebabkan mayoritas penduduk Kepulauan Mentawai adalah non-Muslim. Hanya 23% masyarakat Mantawai yang beragama Islam. Umat Islam di Mentawai menghadapi banyak tantangan, baik eksternal maupun internal.


Salah satu dai dari 500 dai yang dikirim oleh Direktorat Penerangan Agama Islam Kementerian Agama untuk berdakwah di Desa Sikakap, Kecamatan Sikakap, Mentawai, Ustadz Amal Khairat, bercerita, semula ia berharap bisa membantu umat Muslim di Mentawai untuk memantapkan keislaman mereka.


Namun selama tinggal di Bumi Sikerei, harapannya tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Ia mengaku malah disibukkan dengan persoalan internal umat Islam, terutama terkait perbedaan yang bersifat cabang. Umat Islam di sana mengalami kebingungan karena amaliyahnya disalahkan dan dibid'ahkan.


“Selama lebih kurang 30 hari saya berada di Sikakap Mentawai, saya disibukkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan masyarakat atas tuduhan bid'ah yang dilabelkan oleh sebagian dai terhadap amaliyah mereka sehingga membuat mereka mulai ragu,” kisah Ustad Amal, Ahad (31/3/2024).


Berdasarkan penuturan seorang jamaahnya, Ustadz Amal bercerita bahwa dulu hampir setiap hari ada kabar orang masuk Islam. Namun sekarang jarang sekali ada kabar seperti itu dan bahkan sebaliknya. Dikatakan, salah satu penyebabnya adalah para dai di sana tidak lagi sibuk mendakwahkan Islam. Justru mereka sibuk mengoreksi amalan-amalan yang telah dilakukan oleh masyarakat yang didakwahkan oleh para dai sebelumnya.


Dakwah bijak dan toleran

Ustad Amal mengajak kepada semua dai untuk menyampaikan dakwah dengan bijak, mengedepankan sikap toleransi dan saling menghormati, tidak menyalahkan dan membid’ahkan perbedaan-perbedaan keagamaan yang bersifat cabang (khilafiyah furuiyah), dan memahami kondisi masyarakat.  


“Tugas utama dai adalah menjaga akidah dan agama umat, bukan malah mengafirkannya karena persoalan khilafiyah furuiyah,” tegas Mahasiswa Program Doktoral Universitas PTIQ dan Program Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKU-MI) Jakarta ini.

 
Ia menuturkan, banyak orang masuk Islam karena ingin mencari ketenangan. Oleh karena itu, para dai seharusnya menampilkan Islam yang rahmatan lil 'alamin dan jangan membuat mereka menjadi ragu dan bingung. Umat akan menjauh manakala para dai menampilkan Islam yang tidak rahmatan lil 'alamin.


“Mereka masuk Islam ingin mencari ketenangan, namun mereka malah dimusuhi dan dikafirkan ketika sudah masuk Islam. Musuhnya bukan orang lain, tetapi para dai sendiri. Itu akan merugikan Islam sendiri,” ucapnya. 


Tantangan berdakwah

Ustad Amal mengaku, materi-materi tentang perbedaan cabang dalam Islam (khilafiyah) menjadi tantangan tersendiri. Bagaimana materi itu disampaikan tanpa menyinggung dua belah pihak, yaitu orang Salafi dan orang non-Salafi. Dalam satu kajian, orang Salafi mempertanyakan tentang hukum merayakan Maulid Nabi.


“Saya jawab bahwa Maulid Nabi bukan persoalan baru dan ini sudah dibahas para ulama ratusan tahun yang lalu. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak. Kita harus menerima dan saling menghormati karena itu ijtihad ulama,” jelasnya.


Oleh karena itu, ia mempersilakan orang yang mau merayakan Maulid Nabi dan tidak mempermasalahkan orang yang tidak merayakannya. Ia menekankan, seseorang jangan memaksakan pendapatnya kepada orang lain. Sesuatu yang bersifat perbedaan cabang (khilafiyah) jangan sampai mengalahkan sesuatu yang wajib-persaudaraan, persatuan, saling mencintai.


Ia menambahkan, menyusun materi tidak bisa dilakukan secara dadakan. Ia harus memahami bahwa apa yang akan disampaikan akan mengantarkan pada kedamaian dan persaudaraan antar sesama Muslim. Bukan malah memecah belah mereka. 


Mencari titik temu

Ustad Amal bercerita, suatu waktu ia berdiskusi dengan tokoh Salafi Mentawai. Ia menyampaikan pesan-pesan kedamaian, sikap saling menghormati, memahami, dan mencintai. Berdasarkan penuturannya, Ustad Salafi itu mengaku setuju dengan pesan-pesan itu dan mendengarkan ceramah-ceramahnya yang disampaikan melalui pengeras suara.


Ia melakukan kajian subuh di Masjid Al-Furqan dengan menitikberatkan tema sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan pendapat. Dikisahkan, para imam mazhab juga terkadang berbeda pendapat dalam hal-hal tertentu, tetapi mereka tidak saling membid'ahkan, menyesatkan, dan mengafirkan.


Sebagian kelompok yang membid'ahkan itu, lanjutnya, mulai hadir dalam kajiannya. Mereka mau mendengar ceramah-ceramah yang disampaikannya dan mengaku siap untuk saling menghormati di kemudian hari.


“Kini keadaan sudah mulai membaik. Mereka sudah mulai saling memahami dan menerima perbedaan,” ungkapnya.


Dikatakan, masyarakat Mentawai berharap, tahun depan Kemenag bisa mengirimkan dua hingga tiga dai yang berperspektif moderat ke sana agar Mentawai bisa menjadi lebih baik.