Daerah

Konsep Barokah Jadi Inti Kehidupan

Sab, 4 Juni 2016 | 08:07 WIB

Jember, NU Online
Hal yang sering dilupakan orang di tengah kehidupan yang semakin pragmatis ini adalah barokah. Manusia kerap mamandang sesuatu hanya berdasarkan hitung-hitungan matematis. Sementara barokah tidak ada dalam rumus matematika, namun dampaknya bisa dirasakan. Demikian disampaikan Wakil Sekretaris PCNU Jember, ustadz Moch. Eksan saat menyampaikan ceramah dalam acara Haflatul Imtihan di Pondok Pesantren Nurul Ulum, Desa Pace, Kecamatan Silo, Malang, Jum'at (3/5). 

Menurut Eksan, sesungguhnya inti dari kehidupan adalah barokah. Apakah itu rezeki, umur, jabatan dan sebagainya. "Rezeki kalau tidak barokah, ada saja yang menyebabkan habis. Jabatan kalau tidak barokah, bisa menjadi bumerang, ilmu yang tidak barokah bisa menjadi alat memperdayai orang," ucapnya.

Eskan menambahkan, pesantren telah mengajarkan bagaimana barokah itu didapat. Memang tidak ada pelajaran khusus, tapi kehidupan praktis di pesantren secara alami telah memberikan bimbingan tentang barokah. Betapa banyak santri yang ketika di pesantren nilai pendidikannya biasa-biasa  saja. Tidak menonjol, apalagi pintar. Tapi ketika sudah terjun di masyarakat mereka menjadi tokoh, disegani masyarakat. Bahkan terkadang "prestasi" santri tersebut jauh  melebihi mereka yang jebelon perguruan tinggi ternama. "Itu namanya ilmunya barokah. Itu tidak bisa dinalar. Makanya, rajin belajar (di pesantren) itu penting. Tapi taat kepada kiai, pengasuh pesantren itu tak kalah penting. Karena itu bagian dari upaya memperoleh barokah," jelasnya.

Di bagian lain, mantan aktifis IPNU Jember itu mengaku bangga dirinya pernah mencicipi kehidupan di pesantren. Dikatakannya, suasana pesantren yang sederhana telah  mengajarkan santri betapa berherganya kehidupan ini. Namun kesederhaann itu tidak menghambat santri untuk menjadi terbaik di masyarakat. "Banyak santri yang jadi dosen, jadi politisi hebat, jadi bupati, bahkan jadi menteri. Karena itu, kita tidak boleh minder jadi santri. Harus bangga," tuturnya. (Aryudi  A. Razaq/Zunus)