Daerah

Kualitas yang Berbeda, Resiko dari Mayoritas

NU Online  ·  Senin, 20 Juli 2009 | 00:51 WIB

Brebes, NU Online
Sebagai masyarakat mayoritas, Islam di Indonesia memiliki kualitas yang berbeda-beda. Sehingga ketika ada temuan orang Islam melakukan tindakan kriminal misalnya, karena memang jumlah kita mayoritas. Jadi kadar keimanan dan ketakwaan masing-masing orang Islam sangat berbeda jauh.

“Pejabat Negara banyak yang Islam, Presiden Islam, Gubernur Islam, Jaksa Islam, Polisi Islam dan Pencopetpun Islam,” ujar Ketua Tanfidziyah PC NU Kab. Brebes H Athoillah saat memberikan sambutan pada Pelantikan MWC NU Kec. Bulakamba di Masjid Al-Mujahidin Bulusari, Bulakamba, Brebes, Sabtu (20/7).<>

Resiko menjadi mayoritas, lanjutnya, ketika dinegara kita banyak yang melakukan tindak kejahatan maka tentu berimbas pada Islam. Untuk itu, Nahdlatul Ulama yang juga sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia harus menjaga agar jangan sampai warga kita terusik dengan kejahatan. “Tapi yang jelas, di NU tidak ada teroris,” ungkap Athoillah.

Athoillah menjelaskan, Kaum Muslim memang boleh kejam terhadap orang kafir. Tapi kekejaman para teroris itu salah penerapan. Kita harus mengetahui golongan kafir mana yang harus diperangi. “Kalau kafir harbi maka boleh diserang tapi kalau kafir Dzitni tidak boleh diserang,” lanjutnya.

Athoillah berharap kepada Pengurus NU di daerahnya untuk selalu meningkatkan peran dakwahnya. Ukuran keberhasilan dalam berdakwah lewat NU, antara lain bisa diukur dari sejauh mana output yang dihasilkan. “Dalam dakwah, outputnya harus kita pantau terus agar meningkat. Jangan sampai stagnan apalagi menurun,” katanya.

Di Brebes, lanjutnya, warga NU banyak. Ukuran banyak tidak ada batasannya karena selain tidak terdata secara pasti, keanggotaan NU tidak pernah dicabut walaupun orang tersebut sudah meninggal dunia. Dalam AD/ART NU, pemberhentian keanggotaan NU dicabut karena sudah meninggal dunia. “Meskipun sudah meninggal dunia, orang tersebut tetap menjadi orang NU. Sebab kalau keluar dari NU maka tidak mendapat hadiah Surat Al Fatekha dan Tahlil,” kelakarnya yang disambut tertawa pengunjung.

Dalam catatan Athoillah, umat Islam di Kabupaten Brebes 99,77%. Orang NU 60%, sedang Muhamadiyah 10% sementara yang 30% mengikuti baenahuma (kedua-duanya). “Orang ini, biasanya rajin berangkat Tahlil, tapi tidak pernah berangkat sholat jumat,” ujar Athoillah lagi-lagi berkelakar.

Sebab fakta membuktikan, tambahnya, dari jumlah penduduk 1,8 juta dan ketersediaan masjid di Kabupaten Brebes ada 1.064, maka seharusnya ada 900 jamaah sholat jumat ditiap masjid. Tapi yang terjadi, setiap sholat jumat jamaahnya hanya berkisar 200 sampai 300 orang saja. “Nah, yang tidak berangkat itu tadi masuk kelompok baenahuma,” ujar Athoillah yang juga Kabag Kesra Setda Brebes itu.

Tantangan tersebut, lanjutnya, menjadi tugas Pengurus NU untuk mengajak secara halus agar mereka yang tadinya suka tahlil saja, bisa melaksanakan sholat Jumat. “Para ustadz dan kiai harus telaten untuk menggarap ‘proyek’ akherat dengan bekal lillahi taala ini,” pintanya.

Athoillah menjabarkan, arti pentingnya 4 dimensi sebagai bekal perjuangan di NU. Yakni dimensi Keagamaan, keilmuan, kepemimpinan dan kebangsaan. “Sebagai pemimpin, jangan berparadigma sebagai kedudukan. Tapi pandanglah bahwa kepemimpinan itu sebagai amanat yang harus dipertanggungjawabkan,” tandasnya. (Was)