Sumenep, NU Online
Secara rutin, Pimpinan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia atau Lakpesdam Majelis Wakil Cabang NU Pragaan Sumenep Jawa Timur mengangkat kajian Qonun Asasi NU. Ayat yang dibahas kali ini adalah Surat Al-Hujurat ayat 13. Kajian diselenggarakan di rumah Kepala Desa Larangan Pereng, Selasa (3/4) dan dihadiri MWC, ranting, Lakpesdam, Lesbumi, dan GP Ansor Pragaan.
Kiai Jamali Salim dari MWC NU Pragaan mengatakan bahwa ayat 13 dari surat Al-Hujurat mengingatkan bahwa perbedaan sebagai sunnatullah. “Kemuliaan seseorang tidak diukur dari jenis kelamin, bangsa dan identitas kesukuan, melainkan diukur dari nilai ketakwaannya,” katanya memberikan penjelasan. Kiai Jamali juga mengemukakan kronologi turunnya ayat tersebut yang berkaitan dengan penghinaan terhadap sahabat Bilal.
"Dulu orang Makah menghina sahabat Bilal karena mantan budak Abu Jahal yang berkulit hitam namun memiliki suara merdu dalam melantumkan adzan. Hinaan dan caci maki atas warna kulit itulah, sehingga ayat ini turun,” jelasnya.
Menurutnya yang diambil dari Tafsir At-Tanthawi, bahwa manusia dilahirkan dari satu keturunan yang sama, identitasnya berbeda namun perbedaan tidak boleh memutus persaudaraan. “Ini juga mengandung makna larangan tafahur atau saling menonjolkan identitas status sosial kemasyarakatan,” ungkapnya.
Bahkan konflik yang kerap terjadi di masyarakat, dalam pandangannya adalah lantaran memegang sifat buruk tafahur tersebut. "Saling menonjolkan identitas inilah yang menyebabkan kita saling bersitegang antaranak bangsa, tak jarang melahirkan konflik horizontal," urainya.
KH Asnawi Sulaiman selaku pengasuh PP Al-Ihsan menjelaskan makna khalaqa dan ja'ala pada ayat ini. Menurutnya, penciptaan laki dan perempuan (khalaqa) adalah hak prerogratif Allah, sedangkan makna ja'ala memerlukan usaha keras manusia untuk saling mengenal dan hidup damai.
"Sekedar memahami gender laki dan perempuan, Allah telah ciptakan tanpa campur tangan manusia, tapi mengelola perbedaan agar dapat hidup berdampingan dalam perbedaan terlebih dalam hidup berbangsa perlu kearifan nasional. Inilah tugas NU,” terangnya. Hal tersebut dianalogikan ayat perkawinan yang juga menggunakan bahasa khalaqa dan ja'ala.
"NU melalui Gus Dur telah memberi contoh sikap pluralis demi tegaknya nilai kemanusiaan. Sikap ini juga dikagumi dunia,” katanya.
Sedangkan Khaliq Salha, salah seorang pegiat Gusdurian mengurai ayat ini dengan tiga nilai yaitu identitas gender, kebinekaan dalam kemajemukan dan idealisme yang berpulang pada ketakwaan. "Harga diri seseorang, suku, agama tergantung prestasi dan kerukunan. Indonesia tak akan bubar selama kita tetap merawat kebinekaan dengan baik,” katanya.
Peserta sekaligus pengarah senior kajian Lakpesdam H Asyari Khatib di ujung diskusi juga memperdalam kajian. Menurutnya, ayat ini menyuguhkan konflik sekaligus solusi. "Identitas laki dan perempuan, bersuku dan berbangsa ini berpotensi konflik jika tak diatur dengan baik,” katanya. Solusinya ya lita’arafu dan atqaakum, yaitu keinginan untuk saling mengenal dan saling bertakwa. Siapa yang paling mampu mengelola perbedaan dengan baik, dialah yang paling bertakwa, lanjutnya.
Dirinya juga mengomentari sikap publik terhadap puisi Sukmawati yang kontroversial dan dianggap menghina syariat Islam. "Tak usaha berlebihan, Sukmawati belum merasakan indahnya suara adzan, atau indahnya mencadari keislaman,” katanya.
Orang yang tidak tahu akan cenderung melahirkan kebencian. Sebagaimana sikap Rasul kepada warga Thaif. Karenanya yang terbaik adalah men doakan saja karena mereka tidah tahu, tandas budayawan Pesantren Annuqayah ini.
Peserta yang lain juga menimpali bahwa ta'aruf adalah kepastian perbedaan. Namun perbedaan tersebut menyebabkan dinamika peradaban, persaudaraan dan rahmat dalam hidup berbangsa. (Zubairi Karim/Ibnu Nawawi)