Daerah

Mengenal Macapat Kalenengan di Sumenep Madura sebagai Warisan Dakwah Wali Songo

Kam, 29 September 2022 | 09:30 WIB

Mengenal Macapat Kalenengan di Sumenep Madura sebagai Warisan Dakwah Wali Songo

Macapat kelenengan Sumenep Madura.

Sumenep, NU Online

Raden Umar Said atau Sunan Muria merupakan Wali Songo yang metode dakwahnya mirip dengan Sunan Kalijaga. Ia tidak konfrontatif melarang adat tradisi masyarakat yang sejak lama mengakar di hati masyarakat.


Babat Jawa mencatat bahwa Sunan Muria berdakwah menggunakan kesenian Jawa, salah satunya menciptakan macapat guna mengajak masyarakat untuk mengamalkan ajaran agama Islam. Di setiap pertunjukan macapat, hal yang lumrah dilihat oleh masyarakat, ada yang memimpin dan penegas (juru makna) dengan menggunakan bahasa Madura.


Macapat merupakan kesenian kesusastraan Jawa yang menceritakan kisah perjalanan para Nabi dan Rasul-Nya, mulai dari masa kandungan hingga tiada.

 

Selain itu, di dalamnya terdapat keindahan dan khazanah keislaman serta kearifan lokal karena setiap pertunjukan macapat, terkadang diiringi dengan Klenengan (gamelan). Saat ditembamgkan, ritme, syair, dan liriknya syahdu saat didengarkan, sehingga pendengar bisa memetik hikmah dari setiap kisah yang dibacakan.


Di Kabupaten Sumenep, tepatnya di Desa Paberasan, Kecamatan Kota, Sumenep, perkumpulan Macapat Klenengan Sinar Kemala mempertahankan warisan wali songo itu.

 

Dikatakan oleh Ma'adin selaku ketua perkumpulan di acara Festival Sapparan Budaya, setiap judul tembang memiliki makna yang berbeda. Sebut saja 'Candra Jagad' yang bermakna, guru mengajarkan ilmu dan santri mencari ilmu agama.


Menurut Ma'adin, arti macapat adalah macah-macah yang tepat (membacakan sesuatu dengan tepat). Tepat aksara, lagu, not dan irama. Dengan demikian, istilah macah-macah (bahasa Madura) yang dibacakan dalam pertunjukan macapat, warga dapat mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, makna yang terkandung di dalamnya merupakan norma-norma agama Islam yang di akulturasikan lewat kesenian.


Macapat Klenengan

Secara istilah, Klenengan adalah pementasan musik gamelan (vocal dan instrumental), musik tradisional legendaris yang ditabuh dengan lantunan bunyi merdu dan menyentuh perasaan para pendengarnya. 


Musik ini mengetengahkan lagu-lagu menurut kaidah penyusunan gending. Bahkan acap kali dipadukan dengan macapat yang memberikan tembang indah dan syarat akan makna pada pendengar.


Klenengan di Sumenep bagian dari warisan wali songo yang berabad-abad memberikan kedamaian dalam perbedaan kebudayaan. Kesenian ini menjadi mozaik peradaban Nusantara dan diakui oleh seluruh negara.


RP Abdussukur salah satu tokoh utama dalam era 3 zaman menyatakan, klenengan musik tradisional yang masuk dalam kategori bergengsi. Karena kesenian tersebut adalah musik khusus kaum bangsawan, orang terpandang, dan orang kaya yang ada di era Keraton Sumenep.

 

"Bagi wisatawan dan para pelancong yang berkunjung ke Keraton Sumenep, pasti dimanjakan dengan pertunjukan klenengan," ungkap dia.


Tembang macapat klenengan yang biasa ditampilkan oleh pegiat seni, memberikan pelajaran kepada masyarakat untuk menjaga hubungannya dengan Allah (hamblun min Allah) serta menerangkan pada warga bahwa norma agama tak boleh dilanggar.


Tak hanya itu, setiap alat musik Klenengan memiliki makna filosofis. Misalnya, instrumen yang ada di bilah-bilah kayu yang jumlahnya 17 itu, dimaknai 17 rakaat shalat fardhu yang dikerjakan setiap hari. 


Gendang bermakna pajheg-jheg atau pateppak. Artinya tabuhan gendang mengajarkan pada khalayak bahwa menghadap Allah harus benar-benar khusuk. Sedangkan pukulan pada gong, dimaknai menghadap pada sang Agung (Allah) harus dijawi sehingga bisa menyatu dalam alur ibadah.


Kini klenengan menjadi musik yang bisa dinikmati oleh siapa pun (merakyat) atau tidak membedakan status sosial seseorang. 


Kontributor: Firdausi

Editor: Fathoni Ahmad