Bekasi, NU Online
Menurunnya industri musik Islami berdampak pada lemahnya dalam melawan keburukan. Hal itu disebabkan karena minimnya kreativitas dan reproduksi karya. Terlepas dari pandangan ulama yang berselisih paham mengenai musik, tak bisa dipungkiri juga bahwa hidup seseorang tidak bisa lepas dari musik.
Demikian disampaikan Ketua Lembaga Pers dan Penerbitan Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Kota Bekasi, Syamsul Badri Islamy saat memberikan komentar di Sekretariat IPNU, Jl Veteran, Margajaya, Bekasi Selatan, Jumat (9/3).
Syamsul Badri mengatakan bahwa grup musik dan penyanyi yang muncul dari berbagai lini datang silih berganti. Ada yang merilis single dan album dalam jangka waktu tertentu. Sementara musik islami seperti hanya terpaku pada syair-syair rutin yang dibaca saban Jumat.
“Seperti lagu kasidah atau shalawat yang dibawakan oleh grup hadrah marawis kita," ungkapnya.
Pria asal Lamongan, Jawa Timur ini menyarankan untuk berhenti menyalahkan selera masyarakat, kemauan produser, atau label rekaman untuk menjadi rekanan. Mestinya, orang-orang Indonesia yang gandrung terhadap musik islami untuk melakukan introspeksi atas kompetensi bermusik selama ini.
"Introspeksi penting dilakukan, lantaran dunia ini kian sesak oleh beragam hal. Beberapa baik, lainnya buruk,” katanya. Di era digital, bisa dengan mudah menemukan banyak hal buruk. Maka, memenuhi dunia dengan kebaikan adalah sesuatu yang penting dilakukan, lanjutnya.
Shalawat dan kasidah yang dilantunkan di surau maupun pada acara hajatan kampung, Syamsul melanjutkan, hanya berkubang di lini yang itu-itu saja. Tidak ada pembaruan, modifikasi, penulisan ulang, dan penyesuaian konteks tempat dan waktu.
"Tentu kasidah dan salawat kalah telak dengan reproduksi genre musik lainnya, seperti pop dan dangdut,” tegasnya. Banyak kalangan sering melancarkan kritik bahwa lagu-lagu itu tidak pantas didengarkan anak kecil. Tapi toh, mereka hafal dan menyanyikannya, lanjutnya.
Ia mencontohkan, senandung Tombok Ati yang digubah Sunan Bonang. Di dalamnya terdapat pesan moral keagamaan yang mesti dihidupkan kembali, agar tidak terhenti di rak-rak buku perpustakaan yang tidak terjamah oleh minat baca remaja kekinian.
"Senandung itu mesti dilantunkan melalui pengeras suara rumah ibadah pada acara-acara keagamaan. Lebih dari itu, juga diputar di radio, televisi, dan bahkan dinyanyikan bersama-sama," katanya.
Pesan moral itu, imbuh Syamsul, dapat terinternalisasi melalui cara yang elegan dan tidak kaku. Sehingga, mudah diterima di telinga masyarakat secara umum, khususnya masyarakat muslim.
"Kita bisa mencontoh Maher Zain, misalnya, yang lagu-lagunya disukai sebagian besar masyarakat muslim di Indonesia," katanya.
Dalam konteks Indonesia, dia memberi contoh, masyarakat tidak bisa menafikan sumbangsih Raja Dangdut Rhoma Irama yang berdakwah melalui nada dan lagu-lagu islami.
"Itulah reproduksi karya islami yang cukup efektif dalam menyasar segmentasi anak muda dan masyarakat Indonesia," pungkasnya.
Tanggal 9 Maret adalah Hari Musik Nasional. Peringatan itu merujuk pada kelahiran komposer ternama tanah air, Wage Rudolf (WR) Supratman. (Aru Elgete/Ibnu Nawawi)