Daerah HUT KE-77 RI

Pacuan Kuda, Tradisi Masyarakat Gayo Jelang Perayaan HUT RI

Sab, 6 Agustus 2022 | 17:00 WIB

Pacuan Kuda, Tradisi Masyarakat Gayo Jelang Perayaan HUT RI

Pacuan kuda, tradisi masyarakat Gayo menjelang HUT RI. (Foto: kemdikbud.go.id)

Aceh Tengah, NU Online

Tokoh masyarakat dan agamawan Aceh Tengah, Tgk Syahrika menjelaskan bahwa salah satu tradisi yang sudah melekat jelang perayaan HUT Republik Indonesia di Provinsi Aceh tepatnya kawasan Gayo berupa perlombaan pacuan kuda.

    
Tgk Syahrika yang juga pimpinan Dayah Mi'yarul Ulum Al-Aziziyah Bintang mengatakan tradisi Pacuan Tradisional Gayo diselenggarakan dua kali setiap tahunnya di Kabupaten Aceh Tengah yaitu bulan Pebruari memperingati HUT Kota Takengon dan bulan September memperingati HUT RI.

 

Dia menjelaskan, Bener Meriah dan Pemkab Gayo Lues juga menyelenggarakan lomba Pacuan Kuda Tradisional Gayo satu tahun sekali dan kuda-kuda dari tiga kabupaten inilah yang selalu ikut dalam acara ini.


Ajang tersebut dikenal dengan nama pacuan kuda tradisional Gayo yang digelar dua kali dalam satu tahun. Pacuan kuda digelar setiap bulan Februari untuk memperingati HUT Kota Takengon dan bulan September dalam rangka HUT RI.


"Pacuan kuda ini merupakan tradisi yang cukup lama dikenal masyarakat Gayo, yaitu sebelum masa kolonial Belanda," jelas Syahrika yang juga Ketua HUDA (Himpunan Ulama Dayah Aceh) Kabupaten Aceh Tengah ini.


Sementara itu, anggota MPU (MUI) Kabupaten Bener Meriah Tgk Mursyidin menjelaskan, Pacuan kuda di Takengon ini sudah sejak jaman kolonial belanda diselenggarakan tapi setelah panen hasil pertanian.


Alumni Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga itu menyebutkan jokinya disebut joki cilik umumnya masih duduk dibangku SMP dan saat menunggang kuda tersebut tanpa dikenakan pelana.

 

Ia juga menerangkan bahwa kuda-kuda tersebut hasil persilangan kuda Australia dan kuda Gayo yang kecil-kecil yaitu bantuan dari pemerintah setempat, sekarang kuda-kuda gayo tersebut sudah mulai tinggi-tinggi.


Takengon dan Bener Meriah terkenal dengan hasil pertaniannya yaitu kopi gayo yang di ekspor ke luar negeri melalui pelabuhan belawan medan dan kota Takengon dikelilingi bukit-bukit yang suasananya sejuk yang lebih indah lagi dengan adanya pemandangan danau Laut Tawar.


"Pacuan Kuda Tradisional Gayo merupakan pesta rakyat yang dikenal masyarakat Suku Gayo," ujar Mursyidin.


Saat pacuan kuda berlangsung, masyarakat Suku Gayo akan turun dan membanjiri Kota Takengon. Pacuan kuda itu digelar sesudah musim panen padi di persawahan Gayo. Sehingga, pacuan kuda ini juga menjadi hiburan dan pelepas penat para petani setelah berhasil panen. Pada masa lalu, musim panen di Gayo berlangsung pada bulan Agustus.


"Hal itu juga membuat pacuan kuda diselenggarakan pada bulan Agustus. Dalam keterangan lain disebutkan pacuan kuda ini bermula dari keisengan pemuda di kampung Gayo. Mereka biasa menangkap kuda yang berkeliaran dengan kain sarung dan memacunya tanpa sepengatahuan pemilik kuda. Saat memacu kuda ini biasanya mereka akan bertemu dengan pemuda dari kampung lain yang juga sedang melakukan aktivitas yang sama," ungkap Mursyidin.


Menurutnya, pasca-pertemuan tersebut kemudian terjadi interaksi di antara mereka untuk adu balap kuda. Memasuki tahun 1912, pemerintah kolonial mulai mengatur pacuan kuda ini dengan dipusatkan di Takengon. Pacuan Kuda Tradisional Gayo menjadi ajang tahunan mulai tahun 1930-an.


Pewarta: Helmi Abu Bakar

Editor: Fathoni Ahmad