Daerah

Pekan Rajabiyah di Madura dan Tradisi Mempertahankan Macapat 

Rab, 4 Maret 2020 | 00:00 WIB

Pekan Rajabiyah di Madura dan Tradisi Mempertahankan Macapat 

Pembacaan tembang macapat oleh MWCNU Pragaan, Sumenep. (Foto: NU Online/Firdausi)

Sumenep, NU Online
Islamisasi yang dilakukan para wali di tanah Jawa, termasuk pulau Madura dilakukan dengan banyak pendekatan. Salah satunya dengan sarana kesenian. Karenanya hingga kini masyarakat mengenal gamelan, berbagai upacara, pertunjukan wayang ataupun menciptakan bentuk tembang atau nyanyian. 
 
Untuk tembang, mula-mula dipakai sebagai media untuk memuji Allah SWT atau pujian keagamaan, di surau adan mushala sebelum didirikan shalat wajib. Tembang tersebut berbahasa masyarakat setempat, penuh sentuhan lembut dan membawa kesahduan jiwa. Tembang dimaksud dinamakan tembang macapat.
 
Berangkat dari keinginan kuat mempertahankan tradisi para Walisongo ketika berdakwah mensyiarkan agama Islam di Nusantara, Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Pragaan, Sumenep, Jawa Timur membuka secara resmi pekan rajabiyah dan peringatan hari lahir ke-97 NU dengan macapat, Selasa (3/3) malam.
 
Kegiatan dengan tema ‘Kemandirian NU untuk Kemaslahatan Umat’ tersebut dihadiri jajaran syuriyah, tanfidziyah, lembaga, Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama (PRNU) se-Kecamatan Pragaan serta badan otonom.
 
Sebelum acara dimulai, Kiai Abdul Warits Anwar selaku Wakil Rais MWCNU Pragaan mengingatkan bahwa pembukaan pekan rajabiyah sebagai wahana memperbaiki niat.
 
“Dengan dibukanya agenda tahunan ini, seluruh pengurus dan panitia harus meluruskan niat dan berbagai macam rentetan acaranya harus sesuai dengan perencanaan,” katanya.
 
Acara diawali dengan khatmil Qur'an, shalawat qiyam disertai doa yang dipimpin pembina Jam'iyatul Qurra' wal Huffadz setempat yakni KH Asnawi Sulaiman.
Kegiatan ditutup dengan pembacaan macapat yang nilai esensinya menceritakan kisah Nabi Muhammad SAW sejak masa di kandungan hingga proses islamisasi yang disyiarkan di Kota Makkah dan Madinah.
 
Macapat yang ditembangkan KH Maimun dan Kiai Nawawi berjenis tembang kasmaran. Budaya ini sengaja diperkenalkan kepada generasi milenial NU, agar tetap dilestarikan dan tidak punah khususnya di pulau Madura yang terdiri dari empat kabupaten yakni Sumenep, Pamekasan, Sampang dan Bangkalan.
 
“Sanad syair dan cengkok macapat yang ditembangkan oleh Lesbumi NU Pragaan dinukil dari Kanjeng Sunan Giri, Sunan Kalijaga dan Sunan Muria selaku tokoh sufi yang memperkenalkan dakwah Islam dengan memadukan seni budaya,” kata  Kiai Roviq Bahren. 
 
Dalam pandangan Ketua Lesbumi Pragaan tersebut, tidak ada yang meragukan reputasi para kasunanan dalam hal berdakwah karena gayanya moderat. Sehingga Islam dapat diterima di Nusantara.
 
Menurutnya, dari model dakwah inilah, NU mudah dikenal oleh masyarakat perkotaan terutama pedesaan. Karena macapat memiliki nilai sakral dan gaya dakwah topo ngeli, yakni menghayutkan diri dalam masyarakat. 
 
“Tetapi para ulama NU tidak tertelan arus dalam memberikan propaganda kepada bangsa Indonesia,” ujarnya.
 
Dikemukakan bahwa selain berisi pujian kepada Tuhan Pencipta alam semesta, macapat juga menyampaikan ajaran, anjuran, serta ajakan untuk mencintai ilmu pengetahuan, bersama membenahi kerusakan moral dan budi pekerti, mencari hakikat kebenaran serta membentuk manusia berkepribadian dan berbudaya. 
 
“Melalui tembang macapat setiap hati manusia diketuk untuk lebih mendalami serta memahami tentang makna hidup. Lebih dalam lagi, syair-syair yang terkandung dalam tembang macapat merupakan manifestasi hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, serta ketergantungan manusia kepada Sang Penguasa Alam Semesta,” ungkapnya.
 
Khususnya di Sumenep, budaya tembang macapat sudah tidak lagi populer. Padahal, di periode awal kemunculannya, tembang macapat merupakan kesenian yang sangat penting. 
 
“Karena melalui kesenian inilah, para ulama tempo dulu terutama di zaman Walisongo, agama Islam bisa melebarkan sayapnya,” pungkasnya.
 
 
Kontributor: Firdausi
Editor: Ibnu Nawawi