Daerah

Pencegahan Korupsi dalam Perspektif Tasawuf

Ahad, 3 November 2019 | 03:30 WIB

Pencegahan Korupsi dalam Perspektif Tasawuf

Gus Nadir (paling kanan) yang juga penulis kitab ‘BI HUBBIN NABI MUHAMMAD SHALLALAHU ‘ALAIHI WASALLAM’ saat menjadi narasumber dalam Launching & Bedah kitabnya di Pesantren Raden Rahmat Sunan Ampel, Jember. (Foto: NU Online/Aryudi AR)

Jember, NU Online

Korupsi di Indonesia begitu mengerikan. ibarat penyakit kanker, korupsi sudah mencapai stadium empat. Jika tidak diobati, korupsi akan menjalar ke seluruh tubuh Indonesia, dan menggerogotinya hingga tak berdaya. Bangkrut.

 

Menurut salah seorang pengasuh Pondok Pesantren Mamba'ul Khoiriyatil Islamiyah (MHI), Bangsalsari, Kabupaten Jember Jawa Timur, Gus Mirhabun Nadir, untuk menuntaskan persoalan bangsa butuh kejujuran. Tidak hanya kejujuran dalan masalah harta (tidak korupsi) tapi juga kejujuran dalam banyak hal.

 

“Kejujuran dalam masalah harta, kalau dalam ilmu tasawuf, itu termasuk strata yang paling rendah Seakan-akan orang yang tidak korupsi di Indonesia itu sudah hebat. Padahal dia termasuk yang paling rendah,” ujar Gus Nadir, sapaan akrabnya, saat menjadi narasumber dalam Launching & Bedah Kitab BI HUBBIN NABI MUHAMMAD SHALLALAHU ‘ALAIHI WASALLAM di Pesantren Raden Rahmat Sunan Ampel, Antirogo, Kecamatan Sumbersari, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Sabtu (2/11).

 

Doktor lulusan Unisma, Malang itu menambahkan, di dalam kitab Jami’ul Ushul fil Aulia karya Syekh Ahmad Annaqsabandi, terdapat maqola yang menyebut prilaku manusia terkait dengan kejujuran ada empat hal. Pertama, jujur dalam soal harta tapi tidak jujur dalam soal kelamin. Betul tidak korupsi, tapi masih gemar bermain perempuan.

 

“Ini tidak bagus, karena siapapun yang menuruti hawa nafsu akhirnya bisa terdorong untuk melakukan korupsi,” ucapnya.

 

Kedua jujur dalam masalah harta dan alat kelamin, tapi akhlaknya jelek. Misalnya, ngomong seenaknya, dan tidak bisa menjaga perasaan orang lain.

 

Ketiga, jujur dalam menjaga harta, kelamin, dan akhlaknya baik, tapi tapi hatinya jelek. Orang seperti ini, penampilannya boleh jadi bagus, tapi hatinya kerap memelihara dendam, dan memproduksi dengki, dan sebagainya.

 

“Dia ngomognya bisa jadi sopan, tingkah terpuji tapi hatinya menyimpan bara dengki,” ucapnya.

 

Kempat, jujur dalam menjaga harta, alat kelamin, akhlaknya baik, dan hatinya baik tapi agamanya jelek alias bodoh.

 

Namun dari semua itu, lanjut Gus Nadir, menurut kaca mata Syekh Ahmad Annaqsabandi bahwa yang paling tinggi stratanya adalah orang yang memiliki ilmu agama, dan merasa tenteram atas apa yang diberikan Allah kepdanya.

 

“Sekarang pertayaannya adalah apakah kalau orang sudah mempunyai ilmu agama, dan merasa nyaman dan rela terhadap pemberian Allah, apakah masih mau korupsi?. Tidak,” ungkapnya.

 

Pewarta: Aryudi AR

Editor: Ibnu Nawawi