Daerah

Pengamat Tegaskan Terorisme atas Nama Agama Nyata Adanya

Sen, 29 Maret 2021 | 15:00 WIB

Pengamat Tegaskan Terorisme atas Nama Agama Nyata Adanya

Setidaknya ada dua efek jika seseorang mengalami mabuk agama, yakni bisa menjadi teroris atau mengklaim dirinya sebagai nabi atau utusan Tuhan.

Jakarta, NU Online
Para pelaku terorisme mendasarkan aksinya pada dalil-dalil agama. Pengamat terorisme Robi Sugara mencontohkan para pelaku bom Bali 12 Oktober 2002 yang menggunakan Al-Qur’an Surat Al-Anfal ayat 60 sebagai landasan bahwa Muslim dibenarkan menjadi seorang teroris.


Ayat tersebut memiliki terjemah: “Dan siapkan lah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)."


Kata turhibuna dalam ayat itu, yang diterjemahkan sebagai menggetarkan oleh pelaku bom Bali, disebut meneror musuh-musuh Allah seperti orang kafir, orang-orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, yang menghalangi hukum Allah tegak di dunia ini, membenci khilafah dan daulah, dan sejenisnya.


“Jadi menteror musuh-musuh Allah diperintahkan dalam Al-Quran,” tulis Robi dalam akun Facebooknya, Senin (29/3).


Di lain pihak, penjelasan seperti ini juga ditemukan dalam buku 10 Pembatal Keislaman karya Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Buku seperti ini, menurutnya, diajarkan di antara beberapa sekolah Islam dan juga bisa dibeli di toko-toko daring.


Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa para teroris ini tidak tereksklusi dari kelompok beragama. Mereka beragama dan mendasarkan seluruh aksinya atas nama agama. Robi menyebut mereka sebagai kelompok yang mabuk agama.


“Saya ingin katakan bahwa pelaku teroris di Indonesia adalah orang-orang beragama dan mereka orang-orang yang taat beragama. Terlepas kemudian disebut sebagai cara beragama yang radikal, fanatisme buta, ekstremis, tekstual, dan saya lebih senang menyebut mereka sebagai orang yang mabuk agama," ungkapnya.


Menurutnya, setidaknya ada dua efek jika seseorang mengalami mabuk agama, yakni bisa menjadi teroris atau mengklaim dirinya sebagai nabi atau utusan Tuhan.


Dosen FISIP UIN Syarif HIdayatullah Jakarta itu menegaskan bahwa penyebutan teroris tidak berkaitan dengan agama atau tidak beragama itu perlu dihentikan. Hal ini berdasar fakta bahwa mereka justru mendasarkan segala aksinya pada dalil-dalil agama.


“Jadi hentikan mengatakan bahwa pelaku teroris di Indonesia tidak terkait dengan agama dan tidak beragama. Jika tidak beragama, saya kira para atheis tidak punya doktrin seperti itu,” ujarnya.


Dengan menyatakan begitu, lanjut Robi, Presiden dan MUI bisa langsung menyelesaikan persoalannya secara langsung agar setiap tahun tidak terjadi peristiwa teroris yang terus mencoreng agama yang dianut oleh para pelaku teror tersebut.


Pewarta: Syakir NF
Editor: Muhammad Faizin