Daerah HARI SANTRI 2018

Peringati Hari Santri, ISNU Surabaya Gelar Bedah Buku

Sen, 5 November 2018 | 11:00 WIB

Peringati Hari Santri, ISNU Surabaya Gelar Bedah Buku

Peringati hari santri, ISNU Surabaya bedah buku

Surabaya, NU Online
Hari Santri telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia setiap 22 Oktober. Namun, euforia dan gaung dari hari santri masih terasa hingga awal November ini.

Seperti yang dilakukan oleh Pimpinan Cabang Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PC ISNU) Surabaya. Dalam rangka menyemarakkan Hari Santri, badan otonom NU yang menaungi para sarjana NU ini menggelar acara diskusi dan bedah buku Peradaban Sarung yang berlangsung di Gramedia Manyar Surabaya pada Ahad (4/11).

Acara yang menghadirkan langsung penulis buku, Ach Dhofir Zuhry dan KH Muhibbin Zuhri yang merupakan Ketua PCNU Surabaya sebagai pembanding buku ternyata mampu menarik minat masyarakat untuk merapat dan mengikuti diskusi tersebut. Hal ini bisa dibuktikan dengan sekitar 50 orang yang mengikuti jalannya acara ini.

Menurut sekretaris PC ISNU Surabaya, M Ziky, kegiatan ini bertujuan untuk meneguhkan kembali peran kiai dan santri dalam pembangunan negeri ini. “Khususnya khasanah intelektual yang komprehensif dari pesantren,” jelasnya.

Selain itu, alasan lain dari penyelenggaraan kegiatan ini adalah sebagai langkah untuk mengulas kembali khazanah keilmuan dan peran pesantren bagi masyarakat Indonesia. 

“Hari Santri sebagai momentum yang tepat untuk mengulas kembali khazanah keilmuan dan peran pesantren yang sudah ratusan tahun ada di Indonesia dan model pendidikan yang otentik Nusantara,” imbuhnya.

Disinggung mengenai harapan selepas diselenggarakan acara ini, dosen Departemen Multimedia Kreatif PENS Surabaya ini mengatakan, supaya masyarakat bisa memahami bahwa pendidikan kaum sarungan di esantren telah berkontribusi banyak bagi Indonesia, terutama bagi pembangunan intelektual masyarakat.

“Agar kita kembali paham, bahwa pendidikan kaum sarungan di pesantren telah menyumbang khazanah yang luar biasa dalam memahami keindonesiaan secara arif. Pembangunan intelektual dari pinggiran, yang baru saja disadari oleh pemerintah,” paparnya. 

Menurutnya, pembangunan Indonesia tidak melulu dimulai dari perkotaan saja, akan tetapi bisa juga dari pinggiran karena lebih dibutuhkan dan hal ini sudah dilakukan oleh para kiai yang ada di pesantren. 

“Bahwa membangun Indonesia tidak bisa dimulai dari perkotaan saja, membangun dari pinggiran jauh lebih dibutuhkan untuk Indonesia, dan itu sudah dilakukan oleh para kiai melalui pesantrennya beratus-ratus tahun yang lalu,” tutupnya. (Hanan/Muiz)