Daerah

Pesanten Makrifatul Ilmi Bengkulu Selatan yang Terus Berkembang

Kam, 1 Agustus 2019 | 01:00 WIB

Pesanten Makrifatul Ilmi Bengkulu Selatan yang Terus Berkembang

Salah satu kegiatan di Pondok Pesantren Makrifatul Ilmi, Bnegkulu Selatan, Bengkulu.

Bengkulu Selatan, NU Online
Bengkulu Selatan secara demografis merupakan multietnis, baik warga asli maupun pendatang adalah dari berbagai wilayah di Indonesia. Kondisi ini menciptakan masyarakat yang majemuk dan toleran. Masyarakat berprofesi sebagai petani, pedagang, dan sebagian kecil Pegawai Negeri Sipil. 
 
Sebagai daerah berkembang, Bengkulu Selatan berusaha memajukan kawasannya agar mencapai kesejahteraan, kemakmuran, dan berkecukupan. Pembangunan yang dicanangkan tidak sebatas pembangunan secara fisik, namun juga pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), di mana dengan pembangunan fisik dan SDM yang berkualitas diharapkan warga setempat dapat berpartisipasi dalam membangun daerah.
 
Pendidikan adalah salah satu wujud mengisi kemerdekaan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara kultural, masyarakat Bengkulu Selatan merupakan penganut agama Islam dan memiliki tradisi budaya Melayu yang bersendikan keislaman. 
 
Namun, realita yang ada untuk memenuhi kebutuhan pendidikan di bidang keagamaan masih sangat minim. Padahal kebutuhan masyarakat akan pendidikan keagamaan semakin meningkat, mengingat banyaknya kekhawatiran masyarakat adanya krisis mental dan moral generasi mendatang sebagai penerus pembangunan.
 
Kondisi di atas mendorong lima serangkai, yaitu KH Abdullah Munir, KH Syaiful Imron, KH Bahrul Ulum, Ustadz Nur Ali dan Ustadz Muhmmad Arif Luthfi terdorong untuk mewujudkan cita-cita mendirikan lembaga pendidikan keagaamaan. Maka lahirlah sebuah yayasan sekaligus pondok pesantren putra-putri yang diberi nama Yayasan Makrifatul Ilmi Bengkulu Selatan.
 
Yayasan didirikan dengan melalui Notaris Hasan Nurdin dan keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan Nomor: AHU2.AH.01.04.899.
 
“Dengan hadirnya Pesantren Makrifatul Ilmi ini, dapat menjadi benteng terdepan dalam merawat corak Islam Ahlussunah wal Jama’ah atau Aswaja yang senantiasa mengedepankan rahmatan lil alamin,” tutur KH Abdullah Munir, Rabu (31/7. 
 
Besar harapan, hadirnya pesantren Makrifatul Ilmi sebagai jawaban kegelisan pendidikan keagaman terkhusus di wilayah Bengkulu Selatan.
 
“Mampu menghadirkan kader-kader generasi bangsa yang senantiasa berpegang teguh pada ajaran Ahlussunah wal Jama’ah ala thariqi Nahdlatul Ulama,” ungkapnya.
 
Pesantren ini berdiri di bawah asuhan KH Abdullah Munir, yang saat ini juga menjabat sebagai Mustasyar Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Bengkulu. Berdiri di atas tanah 3 hektar yang berlokasi di Jalan Merapi RT 007 Kelurahan Gunung Ayu Kecamatan Kota Manna Kabupaten Bengkulu Selatan.
 
Pesantren yang belum genap berusia delapan tahun tersebut mampu memadukan turats (warisan khazanah keilmuan klasik) dan khazanah keilmuan modern. Oleh karena itu, dalam pengembangan desain kurikulum yang dipakai diharapkan mampu memberikan bekal kepada para santri untuk menguasai ilmu-ilmu agama dari masa lampau sampai masa sekarang. 
 
Berkaitan dengan hal tersebut juga memperhatikan kebutuhan masyarakat untuk menghadapi tantangan masa depan. Kurikulum yang diaplikasikan didesain mampu memberikan pengembangan dan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) para santri yang siap menghadapi tantangan zaman dan mampu bersaing di era ke depan. 
 
Di antara skill yang akan dikembangkan adalah kemampuan komunikasi global, yaitu kemampuan santri dalam komunikasi aktif menggunakan bahasa asing (Bahasa Arab dan Bahasa Inggris), kemampuan menguasai keilmuan Islam klasik dan keilmuan Islam modern, termasuk kemampuan penguasaan ulumul Qur’an.
 
Dalam perjalanan mulai dari berdiri, pesantren asuhan Mustasyar PWNU Bengkulu berdarah Jombang ini, mampu menyuguhkan pendidikan formal maupun nonformal yang berbasis keagamaan. Pendidikan formal meliputi RA hingga STIT Makriffatul Ilmi.
 
Sedangkan nonformal meliputi: kursus, paket belajar, majelis taklim, dan juga melaksanakan kepondokpesantrenan seperti wetonan, bandongan, dan takhassus pendidikan. Semua menggunakan bahan materi kitab-kitab klasik berbahasa Arab. Dan hingga saat ini tercatat sekitar delapan ratusan santri dari bebagai jenjang pendiddikan.
 
Meski perkembangan pesantren sangat pesat tentu masih banyak terdapat kekurangan dan memerlukan keterlibatan semua elemen masyarakat agar eksistensinya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
 
Oleh karena itu, dukungan dari semua pihak sangat diharapkan baik dari pemerintah, masyarakat, lembaga, maupun instansi yang peduli dengan pendidikan, khususnya pendidikan keagamaan. 
 
“Dukungan yang kami harapkan dapat berupa material, pembiayaan, tenaga, maupun pemikiran,” tutup KH Munir. (Mangun Kuncoro/Ibnu Nawawi)