Daerah

Peuphon Kitab, Tradisi Santri Dayah Aceh Mengais Berkah Ulama

Rab, 17 Agustus 2022 | 12:30 WIB

Peuphon Kitab, Tradisi Santri Dayah Aceh Mengais Berkah Ulama

Situasi santri dayah di Aceh saat peuphon kitab. (Foto: mudimesra.com)

Pidie Jaya, NU Online 
Aceh dengan dayah tak dapat dipisahkan. Keberadaan dayah sendiri diyakini telah ada sejak masuknya agama Islam di Aceh. Berdasarkan catatan ahli sejarah disebutkan bahwa saat itu para pedagang dan mubaligh yang datang dari Arab berlabuh di daerah pesisir Sumatera.


"Mereka selain melakukan aktivitas perdagangan, para pedagang dan mubaligh ini juga pro aktif menyebarkan agama Islam. Untuk lebih mempercepat proses penyebarannya, maka didirikanlah dayah yang pada waktu itu berfungsi sebagai media transformasi pendidikan Islam kepada masyarakat," ungkap Tgk Yusri Gade Pimpinan Dayah Ribatul Muhajirin al-Aziziyah Meurah Dua Pidie Jaya kepada NU Online, Selasa, (16/8/2022).


Sosok yang akrab disapa Abiya itu mengatakan cikal bakal berdirinya dayah itu muncul pada awal-awal Islam masuk di Aceh yang bertujuan untuk mendidik masyarakat agar dapat lebih memahami ajaran-ajaran agama, di samping juga untuk menyebarkan agama Islam di nusantara khususnya di Aceh.


Abiya menjelaskan salah satu tradisi yang sangat sakral di kalangan santri dayah (pesantren) adalah tradisi peuphon kitab (memulai kitab) menjadi salah satu bukti penghormatan santri terhadap ilmu dan pemiliknya. Kebiasaan ini dilakukan di hampir seluruh dayah atau pesantren tradisional di Aceh. 


"Sekian banyak tradisi yang melekat pada masyarakat namun terdapat pula sebuah kebiasaan di kalangan santri yang sudah menjadi tradisi turun-temurun dilakukan, yakni acara ibda` kitab yang dalam bahasa Aceh disebut peuphon kitab. Kegiatan ini bermakna pembacaan matan kitab secara simbolis oleh seorang ulama sepuh dayah (pesantren), pimpinan dayah, teungku senior dan sejenisnya kepada para santrinya," terangnya.


Wakil Ketua NU Pidie Jaya itu menjelaskan, teknisnya adalah abu atau teungku membacakan surat Alfatihah yang pahala bacaan tersebut ditujukan untuk musannif (pengarang kitab) atau pengarang kitab yang akan dikaji. Ini sebagai bentuk penghormatan dan pengganti ucapan terima kasih kepada beliau yang telah mewariskan ilmunya untuk orang-orang setelahnya.


"Pada umumnya, yang dibacakan dalam acara peuphon kitab itu adalah kitab fikih, seperti kitab Ghayah wa Alltaqrib di tingkat pemula, Fathul Qarib di tingkat kedua, Fathul Mu`ain di tingkat ketiga dan empat, Khasyiyah Qalyubi wa `Umairah di tingkat kelima dan enam termasuk jenis kitab lainnya yang diajarkan di kalangan dayah," lanjutnya.


Abiya menyebutkan acara peuphon kitab ini dilakukan dengan beragam cara, seperti ada yang melakukannya di dayah masing-masing yang dipimpin langsung oleh pimpinan dayah tersebut. Ada juga yang mengambil waktu untuk berkunjung ke tempat-tempat para ulama yang telah tiada, seperti ke maqam Syiah Kuala, ini dilakukan untuk menjadi ibrah atau pelajaran bagi santri tentang pentingnya ilmu.


"Orang yang berilmu itu selalu akan diingat oleh orang sepanjang masa, namanya akan selalu hidup di sisi orang yang hidup kendatipun jasadnya telah tiada, dan inilah bukti firman Allah swt dalam Al-Qur’an bahwa Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu beberapa derajat," ulas alumni MUDI Samalanga itu.


Menurut Abiya, bahkan ada juga yang melakukannya dengan cara mengunjungi dayah-dayah tertentu, seperti berkunjung ke Dayah Darussalam Labuhan Haji, Dayah Kuta Krueng, dan lainnya. Sedangkan santri yang melakukan acara peuphon kitab dengan berkunjung ke dayah-dayah lain, meminta kepada pimpinan dayah tersebut untuk membacakan sedikit matan kitab yang akan dipelajari selanjutnya.


Sementara itu Tgk Masrur, Alumni Dayah Darul Falah Lueng Teungoh Ulee Glee menjelaskan peuphon kitab ini dilakukan dalam rangka menjemput keberkahan (tabarruk) dari ulama-ulama sepuh yang kalangan santri meyakini bahwa banyak keberkatan pada mereka selaku orang yang sudah lama mengabdikan hidupnya dengan mengajarkan ilmu agama kepada umat Nabi Muhammad saw.


"Tabarruk atau mengharap berkah adalah menjadikan seseorang tempat atau sesuatu yang diharapkan berkahnya sebagai perantara menuju Allah swt. Tabarruk tidak hanya dilakukan oleh para santri, melainkan juga pernah dilakukan oleh para sahabat Nabi Muhammad, seperti Khalid bin walid yang ber-tabarruk dengan rambut Nabi Muhammad," ulasnya. 


Sosok yang pernah menjadi wakil ketua PW Ansor Aceh itu menjelaskan sebagaimana diceritakan dalam kisah hilangnya mahkota serban Kahalid bin Walid dalam Perang Yarmuk sehingga beliau mencarinya sampai ditemukan. Beliau pun menceritakan tentang kisah mahkota serban tersebut.


"Ketika Rasulullah melaksanakan ibadah umrah, kemudian ia mencukur rambutnya, lalu para sahabat berebutan rambut Rasulullah saw, sayalah pemenangnya dan saya simpan rambut tersebut di dalam mahkota serbanku ini, maka saya tidak akan berperang dengan memakai sorban ini, melainkan Allah memberikan saya kemenangan." lanjutnya.


Menjemput berkah pada ulama-ulama sepuh sangat berarti bagi santri dayah agar dengan keberkatan tersebut menjadi washilah untuk tetap hati dalam menuntut ilmu agama dan agar sampai pada tujuan menuntut ilmu. Selain untuk mendapatkan berkah, juga untuk bersilaturahim dengan para ulama, serta untuk mengamalkan hadits nabi yang terdapat di dalam kitab Tangqihul Qoul Hadits, karangan Syekh Nawawi al-Bantani bahwa Rasulullah mengatakan melihat pada wajah ulama merupakan ibadah.


"Kunjungan ke dayah-dayah yang sudah lama berdiri dan sudah banyak melahirkan ulama muda di Aceh juga menjadi ajang studi banding kecil-kecilan bagi santri-santri yang melakukan kegiatan peuphon kitab ini, agar menjadi motivasi dalam menuntut ilmu agama di dayah serta mendapat pengalaman-pengalaman baru dalam menempuh pendidikan," terangnya. 


Mantan ketua Ansor Pidie Jaya itu mengatakan di sana mereka akan melihat potret kehidupan para santri yang sedang menimba ilmu agama dengan penuh semangat dan ketekunan. 


Kontributor: Helmi Abu Bakar
Editor: Syamsul Arifin