Daerah

Rais NU Jateng: Jadilah Santri yang Selalu Dibanggakan Kiai

NU Online  ·  Ahad, 23 Juni 2019 | 02:00 WIB

Demak, NU Online
Pendiri Pondok Pesantren Futuhiyyah Suburan Barat Mranggen Demak, Jawa Tengah KH Abdurrohman bin Qashidil Haq memang dikenal memiliki putra yang mencetak kader kiai. Tercatat almaghfurlah KH Muslich, KH Ahmad Muthohhar selaku Pengasuh Pondok Pesantren Futuhiyyah Ndalem atau yang sekarang bernama Pondok Pesantren Darul Ma'wa.

Keistikamahan dan keistimewaannya telah masyhur di kalangan kiai pesantren, terlebih banyak kiai yang belajar di Mranggen. Hal ini menjadikan sebuah alasan yang menjadikan para santri bangga berguru kepadanya.

"Ketika berkunjung di berbagai daerah, bahkan pelosok desa sekalipun, banyak saya temui kiai yang pernah nyantri di Mranggen," kata Rais Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah, KH Ubaidillah Shodaqoh. Hal tersebut disampaikannya saat memberikan tausyiah untuk masyayikh dan reuni Ikatan Santri Futuhiyyah Ndalem (Istifada) Suburan Barat Mranggen, Demak, Sabtu (22/6).

Karenanya Kiai Ubed, sapan akrabnya mengingatkan agar para santri berusaha menjadi yang terbaik dan membuat bangga kiai. "Menjadi santri yang dibanggakan oleh kiainya, jangan hanya sebatas menjadi santri yang membangga-banggakan kiainya," tuturnya.

Menurutnya, paradigma bangga terhadap kiai harus dibalik oleh para santri, terutama para santri yang pernah belajar kepada KH Abdul Hadi, terlebih lagi pernah mendapatkan berkah belajar langsung dari KH Ahmad Muthohhar.

Pada kesempatan tersebut, dia menyatakan kurang sepakat penggunaan istilah alumni dalam pesantren. "Saya itu kurang sepakat dengan istilah alumni atau mutakharijin pesantren. Yang namanya santri ya tetap santri. Maka dari itu meskipun telah berada di rumah, santri harus tetap menimba ilmu dari kiainya di pesantren," pesannya.

Kata Kiai Ubed, semua tidak ada apa-apanya bila dibandingkan masyayikh yang istikamah dalam mengajarkan ilmu, terlebih seperti KH Ahmad Muthohhar. “Kita ini tidak bisa menyamai keutamaan para kiai yang alim,” tegasnya. 

Dalam pandangannya, santri utama adalah paling banyak memegang teguh ajaran, dan pesan guru. “Bukan yang sering tampil di televisi dan bahkan menjadi seorang dai yang terkenal," kata pengasuh Pondok Pesantren Al-Itqoon Bugen, Tlogosari ini.
Sementara, pengasuh Pondok Pesantren Darul Ma'wa, KH Abdul Hadi Muthohhar, mengatakan reuni sebagai usaha menyambung silaturrahim antaralumi. "Kembali bersatu, kembali berkumpul. Ar-rujuk ilal wahdah," tuturnya.

Lebih dari itu, dia berharap momen tersebut dapat diingat para alumni agara mengagendakan pertemuan dengan baik. "Saya mengharapkan masing-masing memiliki jadwal bahwa hari raya Idul Fitri seperti hari ini untuk seterusnya juga begitu, dibuat acara tersendiri supaya tidak tertumpuk oleh kegiatan yang lain," harapnya.

Pembina Lajnah Mahasiswa Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (Matan) ini berharap acara doa untuk masyayikh dan reuni tersebut menjadi penghubung antar santri dan juga dengan pengasuh, utamanya yang telah berpulang ke haribaan Sang Pencipta. 

"Mendoakan masyayikh yang telah mendahuli. Ini agar jangan sampai lupa dengan para guru kita," tandasnya. (Rifqi Hidayat/Ibnu Nawawi)