Daerah

Saat Santri Darul Ulum Diskusi Musik dalam Film Prancis

Rab, 12 September 2018 | 12:30 WIB

Saat Santri Darul Ulum Diskusi Musik dalam Film Prancis

Suasana workshop band Prancis di auditorium Unipdu Jombang.

Jombang, NU Online
Tidak banyak yang mengetahui bahwa film dan musik mengalami perjalanan yang demikian panjang. Lewat perkembangan teknologi dan tentu saja inovasi yang tiada berhenti, musik dan film menjadi bagian tidak terpisahkan. Sehingga, kini kita bisa menikmati tayangan film dengan iringan musik yang demikian memukau.

Setidaknya pengetahuan inilah yang didapat dari sejumlah santri di Pondok Pesantren Darul Ulum (PPDU) Peterongan Jombang, Jawa Timur. Ratusan santri yang berasal dari berbagai lembaga pendidikan di Pondok Rejoso (sebutan akrab untuk PPDU) dan kampus di Jombang menyimak dengan seksama kegiatan Workshop Band Prancis Philharmonique de La Roquette, Senin (10/9). 

Kegiatan ini hasil kerja sama Institut Prancis di Indonesia atau IFI (Institut Francais Indonesia) dan Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (Unipdu) Peterongan Jombang. Acara yang mendapat perhatian serius dari banyak kalangan ini berlangsung di auditorium kampus setempat dan dihadiri ratusan peserta dari berbagai sekolah dan kampus di Jombang.

Selama workshop, peserta dipandu oleh Laurent Bernard, Lilian Bencini serta Julien Kamoun. Ketiganya merupakan personil dari Philharmonique de La Roquette, kelompok musisi dari kota Arles di Prancis.

Kala presentasi, Laurent Bernard mengemukakan bahwa awalnya film yang beredar tidak menggunakan musik sebagai pengiring. “Istilahnya disebut dengan film bisu,” katanya di hadapan peserta, termasuk pimpinan Unipdu dan lembaga pendidikan di Pondok Rejoso. Hal tersebut karena memang hanya ada adegan, namun tidak ada suara dan musik. 

Saat mulai ditemukan musik sebagai pengiring berbagai adegan, ternyata masih sangat sederhana. “Bahkan tidak jarang, antara adegan dan musik pengiring tidak nyambung,” jelasnya. Akan tetapi, hal itu tidaklah berlangsung lama lantaran seiring dengan kemajuan teknologi dan lahirnya musisi spesialis komposisi musik pengiring.

Untuk menambah wawasan peserta workshop, pada kesempatan tersebut disuguhkan sejumlah film lama yang belum diiringi musik. Dan sejurus kemudian ditampilkan film dengan berbagai ilustrasi musik pengiring. “Kelihatan bedanya kan?” tanya Lilian Bencini yang bertugas memegang kontrabas dan bas.

Suasana semakin menarik kala pada kesempatan itu juga diputar film kartun. Yang unik dan sangat berbeda adalah, para komponis ini secara langsung memamerkan keahlian dalam mengiringi film yang ada. Peserta dapat menyaksikan secara langsung kemampuan Laurent Bernard memainkan keyboard dan memilih jenis musik yang sesuai dari sejumlah fim yang ditampilkan di layar lebar di atas panggung.

Ketiga komponis menyadari bahwa dibutuhkan keterampilan dan “rasa” dalam memilih serta menentukan jenis musik yang dijadikan pengiring dalam film. “Perlu keterkaitan dengan zaman, agar yang kita pilih sesuai dengan adegan yang ada,” jelas Julien Kamoun.

Rasa Penasaran Peserta
Untunglah ada kesempatan tanya jawab yang diberikan narasumber kepada peserta yang memadati auditorium. Dan setidaknya hanya ada tiga penanya yang beruntung bisa menuntaskan rasa penasaran terhadap paparan yang disampaikan.

Khoirul Abidin misalnya, menanyakan bagaimana agar pilihan musik dapat mewakili dan tidak menimbulkan pertentangan bagi para peminat film. Mahasiswa Fakultas Agama Islam Unipdu tersebut menyoal keterampilan apa yang harus dimiliki. “Agar musik yang telah dipilih, dapat mewakili selera banyak kalangan,” ungkapnya. 

Sedangkan Feren Mauidi Madrasah Aliyah Negeri Darul Ulum 2 turut menanyakan cara membuat musik dan film sehingga layak dinikmati khalayak. “Dengan biaya rendah dan teknologi yang sederhana, bisakah lahir karya film,” tanyanya.

Penanya lain yakni Riska Khoirun Nisa mempersoalkan musik yang mampu menggambarkan suasana serta bisa menjembatani keinginan penonton dengan para komponis yang ada.

Mendapat pertanyaan kritis dari peserta tersebut, Lilian Bencini cukup terperanjat. “Wah, pertanyaan kalian bagus sekali,” katanya yang diterjemah oleh tim dari IFI Surabaya.

Menurutnya, tidak mudah menjembatani keinginan antara komponis dengan penonton. “Karenanya perlu banyak latihan dan jam terbang,” sergahnya. Yang juga tidak kalah penting adalah mengikuti perkembangan zaman agar pengetahuan dan kemampaun dapat berjalan sesuai waktu yang ada.

Tentu saja tidak mudah memuaskan selera banyak orang. “Tapi dengan sering berdiskusi dan terus mencoba, maka kesenjangan tersebut dapat teratasi,” ungkapnya. Prinsipnya, musik yang mengiringi sebuah film hadir untuk menjembatani dengan penikmat karya yakni penonton, lanjutnya.

Pilihan terhadap jenis musik bagi karya film juga tidaklah sembarangan. “Jangan sampai salah memilih jenis musik karena akan berakibat pada ketidaksesuaian antara alur yang ada,” jelasnya.

Ketiga komponis ini juga tidak menampik kalau membuat film diperlukan waktu dan biaya yang tidak kecil. “Tapi kalau kita kreatif, maka bisa juga membuat film yang di dalamnya juga diiringi dengan berbagai jenis musik yang biayanya terjangkau,” ungkapnya.

Kesempatan Mengenal Prancis
Menjadi tuan rumah worshop ini, tentu saja sebuah kebanggaan bagi Unipdu. Hal tersebut sebagaimana disampaikan H Zulfikar As’ad saat memberikan sambutan. “Dipercaya menjadi tuan rumah kegiatan ini adalah sebuah penghargaan,” kata Gus Ufik, sapaan akranya. 

Wakil Rektor Unipdu ini mengemukakan bahwa dari sekian kampus yang ada di Jawa Timur, Unipdu adalah satu-satunya yang memiliki kerja sama dengan IFI. “Hal itu dibuktikan dengan berdirinya Lesehan Prancis di kampus ini,” katanya disambut tepuk tangan hadirin. 

Menurutnya, France Corner atau Lesehan Perancis telah berdiri sejak awal 2013. “Keberadaannya untuk lebih mengenalkan Prancis kepada masyarakat Jombang,” ungkapnya.

Dalam praktiknya, keberadaan Lesehan Prancis dapat menjadi jembatan bagi pertukaran budaya antarkedua negara. “Karena untuk bisa mengenal bangsa lain, maka yang harus dikuasai terlebih awal adalah bahasa,” kata alumnus program doktor di Unair Surabaya ini.

Gus Ufik mengingatkan bahwa Prancis termasuk bahasa internasional. “Tentunya dengan menguasai bahasa ini, maka akan kian banyak pengetahuan yang diperoleh,” kata Ketua Pimpinan Pusat Asosiasi Rumah Sakit Nahdlatul Ulama (Arsinu) ini.

Selama kegiatan, para peserta dipandu oleh grup band Prancis Philharmonique de La Roquette. Grup ini terdiri dari sekelompok musisi spesialis komposisi musik pengiring. Mereka memainkan secara langsung pada saat pemutaran film bisu atau pementasan tari, teater  dan pembacaan puisi. 

Khusus kepada penanya, pantia memberikan aneka cinderamata. Demikian pula kepada peserta yang beruntung mendapatkan kenang-kenangan. Dari mulai tas keren, gantungan kunci hingga bros bernuasa Prancis tentunya. (Ibnu Nawawi)