Daerah

Sarbumusi Jember: UU Cipta Kerja, Kado Pahit buat Buruh

Rab, 7 Oktober 2020 | 13:30 WIB

Sarbumusi Jember: UU Cipta Kerja, Kado Pahit buat Buruh

Ketua DPC Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) Jember, Umar Faruk. (Foto: Istimewa)

Jember, NU Online
Undang-undang  (UU) Cipta Kerja yang baru saja disahkan, merupakan pukulan telak bagi buruh. Meski Undang-undang tersebut diklaim juga untuk kepentingan buruh, namun ternyata banyak sekali pasal-pasal yang secara kasat mata merugikan buruh. Tentunya, Undang-undang ini akan semakin menambah penderitaan buruh di tengah dampak pandemi Covid yang juga mereka rasakan.

 

“Ini (UU Cipta Kerja), benar-benar kado pahit buat buruh,” ujar Ketua DPC Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) Jember, Umar Faruk kepada NU Online di kediamannya, Kelurahan Gebang, Kecamatan Patang, Jember, Rabu (7/10).


Menurutnya, sejak virus Corona mewabah di negeri ini, banyak buruh menganggur karena PHK massal akibat dampaknya terhadap ekonomi. Mereka hanya bisa bertahan hidup ala kadarnya. Meskipun ada bantuan langsung dari pemerintah untuk korban terdampak pandemi Covid, tapi itu pun tidak merata. Hanya sebagian kecil yang terjangkau bantuan. Meskipun kebagian, tapi jelas jauh dari mencukupi.


Walaupun demikian, lanjut Faruk, buruh mencoba bersabar karena pandemi ini pasti akan berlalu, dan pada saat itulah lowongan kerja akan banyak dibuka. Namun di tengah penantian yang pahit itu, UU Cipta Kerja disahkan, dan siap membuat para buruh semakin merana.


“Namanya ini kita lari dari sarang buaya, masuk ke sarang macan,” ungkapnya.


Faruk lalu menyebut  beberapa poin yang merugikan buruh di UU Cipta Kerja itu, di antaranya adalah tenaga kerja asing (TKA) tidak dibatasi dalam lingkup kerja tertentu. Selama ini,  katanya, TKA memang dibolehkan bekerja di Indonesia, namun di posisi tertentu, misalnya manajer dan sejenisnya. Tapi di UU Cipta Kerja, TKA dibolehkan bekerja sebagai buruh kasar.


“Ini kan sudah jelas-jelas mengambil haknya buruh kita. Terus terang buruh kita sulit bersaing dengan TKA. Dan bisa dipastikan Indonesia akan kebanjiran TKA, sementara buruh kita banyak yang menganggur,” jelasnya.


Persoalan lain yang juga dinilai krusial dalam UU Cipta Kerja itu adalah dihapusnya sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar pemenuhan Upah Minimum Kabupaten (UMK). Jika mengacu kepada pasal 185 ayat (1) Jo pasal 90 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, perusahaan yang membayar upah di bawah UMK dikenakan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).


Lho selama ini ada sanksi saja perusahaan sudah seperti itu memperlakukan buruh, banyak yang tidak taat UMK, apalagi sekarang tanpa sanksi. Sekarang buruh benar-benar hancur,” ungkapnya.


Ia pun menyatakan akan terus berusaha bersama elemen lain untuk menolak dan menggagalkan Undang-undang yang kontroversial tersebut.  “Ya kita tidak boleh putus asa, agar kado pahit untuk buruh ini tak berlanjut,” pungkasnya.


Pewarta:  Aryudi A Razaq
Editor: Muhammad Faizin