Syekh Al-Azhar di Sumenep: Jangan Campur Adukkan Permasalahan Qath’i dan Zhanni
Kamis, 10 Agustus 2023 | 21:30 WIB
Guru Besar Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, Prof Syaikh Muhammad Salim Abu Ashi Al-Azhari Al-Hanafi saat saat mengisi muhadarah ilmiah dengan tajuk Toleransi dan Keragaman dalam Bermazhab, Kamis (10/8/2023). (Foto: NU Online/Firdausi)
Firdausi
Kontributor
Sumenep, NU Online
Guru besar Ilmu Al-Qura'n Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, Prof Syekh Muhammad Salim Abu Ashi Al-Azhari Al-Hanafi mengimbau kepada umat Islam agar tidak mencampur-adukkan antara permasalahan yang qath'i dan zhanni, misalnya tawasul dan ziarah kubur.
Qath'i adalah sebuah ayat yang pasti atau persoalan pokok dalam agama yang tak bisa diganggu gugat atau munculnya perbedaan pendapat. Sedangkan zhanni adalah persoalan yang masih ada kemungkinan benar atau salah. Dalam hal ini pasti ada perbedaan pendapat (hasil ijtihad) dari kalangan ulama. Misalnya, amaliah-amaliah NU yang kerap diklaim haram, musyrik dan sebagainya.
"Yang sangat disayangkan, banyak permasalahan yang tidak ada hubungannya dengan akidah, dimasukkan jadi bagian akidah. Tawasul dan ziarah kubur yang dipersoalkan oleh sebagian orang, itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan akidah," ungkapnya saat mengisi muhadarah ilmiah dengan tajuk Toleransi dan Keragaman dalam Bermazhab, Kamis (10/8/2023).
Dijelaskan, hal-hal yang pokok dalam akidah tidak boleh ada perbedaan. Sedangkan yang zhanni atau masih ada kemungkinan benar atau salah, diperbolehkan ada perbedaan pendapat. Sebut saja tawasul yang sebenarnya masuk dalam permasalahan fiqih dan jumhur ulama memperbolehkannya.
"Munculnya pernyataan Ibnu Taimiyah yang mengatakan hukum tawasul itu ada tafsilnya. Boleh bertawasul dengan orang yang masih hidup dan tidak boleh bertawasul kepada orang yang sudah wafat. Pernyataan tersebut, tidak pernah ditemukan dari ulama sebelumnya yang yang membedakan antara yang hidup dan mati," tuturnya kepada santri Annuqayah yang berkumpul di Masjid Jami’ Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep, Jawa Timur.
Terlepas benar atau salah, pintanya, jangan sampai memasukkan tawasul dan ziarah ke makam auliya’ kepada ranah akidah. Bahkan ada sebagian orang yang memaksakannya dan berdampak pada mengkafir-kafirkan sesama Muslim serta gampang mengatakan syirik.
"Betul, Imam Muslim meriwayatkan bahwa dahulu kala Rasulullah melarang sahabat untuk ziarah kubur. Namun kemudian Rasulullah memperbolehkannya," terangnya.
Syekh Muhammad Salim menyitir perkataan ulama bahwa ada hikmah dari ziarah kubur. Pertama, hikmah itu didapatkan bagi peziarah yang bisa mengambil pelajaran, ingat pada kematian dan ingat pada akhirat. Kedua, bagi ahli kubur yang didoakan oleh peziarah. Berkat doanya, almarhumi akan mendapat ampunan, rahmat dan maghfirah dari Allah Swt.
Tentunya, umat Islam tidak bisa mengkhususkan ziarah kubur ke makam wali secara umum. Pasalnya, Rasulullah tidak membatasi pada umatnya untuk menziarahi atau pun tidak menziarahi makam si Fulan. Dalam kaidah ushul fiqh, apabila lafalnya umum tidak boleh dibatasi dan mengklaim kekhususan padanya.
Syekh juga menegaskan, jangan sampai menuduh orang ziarah kubur sebagai perbuatan yang musyrik dengan menyandarkan sebuah ayat-ayat Al-Qur'an yang sebenarnya turun kepada orang musyrik, kemudian diterapkan kepada orang Muslim.
"Pernyataan yang sering dikatakan oleh sebagian orang, orang Islam yang ziarah wali diartikan mendekatkan diri kepada Allah melalui auliya’. Apa hubungannya ayat untuk orang musyrik dengan orang yang ziarah kubur?" sergahnya.
Perbedaan pendapat
Syekh Muhammad Salim menceritakan, perbedaan pendapat sudah ada sejak masa sahabat hingga ulama pendahulu. Kendati demikian, mereka saling menerima dan menghargai pendapat lainnya. Bahkan, di masa ulama, saling mengambil istifadah atau saling mengaji ke ulama yang lain, seperti dilakukan Imam Syafi’i yang berguru kepada Muhammad Ibnu Hasan murid terbaik nomor dua dari Imam Abu Hanifah.
Di masa Nabi, sahabat memakmani hadits nabi yang menyatakan bahwa Rasulullah meminta shalat asar di tempat tertentu yang bernama Bani Quraizhah. Ada yang memaknai hadits itu secara tekstual. Ada pula yang melihat secara makna, artinya Nabi mendorong sahabat agar bergegas sampai ke Bani Quraizhah.
"Setelah bertemu dengan Nabi, beliau mendengarkan cerita dari keduanya. Ada yang shalat di tengah jalan dan atau pun sebaliknya. Dari kisah ini ulama menegaskan, semuanya mujtahid. Hanya Islam yang menghargai manusia yang dianugerahi akal. Jangan akal kita menjadi wadah yang memasukkan apa pun tanpa difilter," pintanya.
"Realitas di masa kini, ada orang mengatakan bahwa tak ada gunanya bermazhab. Dan mereka mengambil hukum dari Al-Qur'an dan hadits. Dari mana kita mengetahui hukum? Saya tidak melihat orang itu yang beristimbat hukum secara langsung dari Al-Qur'an dan hadits. Ternyata ujung-ujungnya mereka mengatakan, ini menurut syekh," tandasnya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Perhatikan 4 Hal Ini Agar Amal Ibadah Diterima Allah
2
Khutbah Jumat: Pendidikan sebagai Kunci dalam Menggapai Impian
3
Khutbah Jumat: Bersemangatlah, Mencari Nafkah adalah Ibadah
4
Kongres XIII JATMAN Siap Digelar di Asrama Haji Donohudan Boyolali pada 21-22 Desember 2024
5
Khutbah Jumat: Merawat Alam Sebagai Wujud Kepatuhan Terhadap Perintah Agama
6
7 Hari Wafatnya Syekh Hisham Kabbani: Melihat Gerak Dakwahnya di Amerika
Terkini
Lihat Semua