Tokoh

Ketenaran Kiai Usymuni Sumenep Diramal Sejak Kecil oleh Syaikhona Kholil Bangkalan

Jum, 6 Januari 2023 | 01:00 WIB

Ketenaran Kiai Usymuni Sumenep Diramal Sejak Kecil oleh Syaikhona Kholil Bangkalan

KH Usymuni dan KH Zainal Arifin (Foto: dok istimewa)

Kelahiran KH Usymuni pada tanggal 9 September 1909, bermula saat ayahnya KH Zainal Arifin bin Thalabuddin dijodohkan oleh gurunya dengan Nyai Khadijah asal Jeddih, Socah, Bangkalan. Atas petunjuk sang guru, yakni Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan, lahirlah sosok ulama kharismatik, alim, dan namanya dikenal oleh warga Madura. 

 

Diceritakan oleh KHR Suharto Winata, di masa kanak-kanak, Kiai Usymuni kecil diajak sowan oleh sang ayah kepada gurunya di Bangkalan. "Kelak ketenaran Kiai Usymuni akan melebihi ayahnya," ujarnya sembari menirukan perkataan Mbah Kholil Bangkalan.


Ucapan sang perestu Nahdlatul Ulama (NU) ini benar-benar mustajab. Nama Kiai Usymuni terkenal, disegani banyak orang, dan disowani banyak tamu besar. Kendati beliau memiliki banyak saudara (berbeda ibu), ia tetap merawat dan meneruskan perjuangan sang ayah di bidang pendidikan agama, yakni pendidikan pesantren. Bahkan ia meneruskan estafet sang ayah sebagai Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumenep.


Sanad Keilmuan
Kiai Usymuni tak hanya menempuh pendidikan pada Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan. Ia pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk yang saat itu diasuh oleh KH Muhammad Ilyas bin Muhammad Asy-Syarqawi. Hanya saja tak berlangsung lama, sekitar 1 bulan bermukim di pesantren Luk-Ghuluk yang menjadi cikal bakal lahirnya NU di Sumenep.


Berdasarkan kisah masyhur yang disampaikan oleh dzurriyah, Kiai Ilyas meminta kepada Kiai Zainal Arifin untuk membawa pulang anaknya. Sang guru sudah mengetahui bahwa ilmu yang dimilikinya sudah cukup. 


Di masa mudanya, Kiai Usymuni melakukan perjalanan spiritual. Salah satu tempat tirakatnya ada di Gua Payudan Guluk-Guluk. Tinta sejarah mencatat, gua tersebut adalah tempat bertapanya para Wali Allah dan raja-raja Sumenep.


Diketahui, Kiai Usymuni melepas masa lajangnya dengan menikahi putri Syech Al-'Alawiyah KH Abi Sudjak muassis NU Sumenep atau pengasuh Pondok Pesantren Asta Tinggi, yakni Nyai Hj Makkiyah. Dari perkawinannya, lahir Kiai Imam As'ad, Kiai Maqsad Qusyairi, Nyai Hindun, Nyai Halimatus Sa'diyah, Nyai Aqidah Usymuni. 


Tak hanya itu, Kiai Usymuni menikah lagi dengan Nyai Ahmaniyah dan melahirkan keturunan, antara lain Nyai Faizah, Nyai Yohana, Nyai Maisun, Nyai Hasanah. Istri ketiganya bernama Nyai Ummaniyah yang masih keturunan Bindhara Muhammad Saud (Raja Ke-30 Sumenep). Pasangan ini melahirkan Kiai Abdurrahman, Nyai Susantin Fajariyah, Nyai Amna, Nyai Hailah, Kiai Abd Rahem, Nyai Hosnaniyah, Kiai Moh Adam.


Pengabdian Kiai Usymuni
Sebagaimana dalam penelitian Iwan Kuswandi, di saat KH Zainal Abidin wafat (1953), Kiai Usymuni bersama adik-adiknya melanjutkan perjuangan sang ayah, yakni di bidang pendidikan. Secara berangsur-angsur, dibukalah Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Diniyah (1964). Disusul juga, diresmikannya Madrasah Tsanawiyah (MTs) (1969). Saking antusiasme masyarakat terhadap lembaga pendidikan di Tarate, Departemen Agama Republik Indonesia (Depag RI) memberikan penawaran pada pengasuh agar lembaga tersebut dinegerikan. Di sinilah cikal-bakal MTs Negeri Tarate di Sumenep.

 

Kiai Zainal Arifin yang pernah mengemban amanah Rais PCNU Sumenep, tongkat estafetnya dilanjutkan oleh putranya. Kiai Usymuni menjalankan amanah tersebut terhitung dari tahun 1953-1982. KH Idam Chalid dan KH Yusuf Hasyim yang kala itu menjabat sebagai Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melakukan kunjungan ke Sumenep dan sowan pada Kiai Usymuni di Tarate. Hal ini dilakukan guna menjalin koordinasi dan konsolidasi jam'iyah serta penasaran sama Kiai Usymuni yang namanya dikenal sebagai sosok ulama kharismatik yang disegani sampai ke level pusat.


Pengabdiannya pada masyarakat sangat besar. Dari masjid ke masjid, dari mushala ke mushala, dari kota ke pelosok desa, dakwah beliau yang santun mudah diterima oleh masyarakat. Sehingga kesan warga terhadap NU sangat dirasakan keberadaannya walaupun terdapat keterbatasan atau tak seperti zaman ini yang kedudukan fisika dan teknologi berada di atas.


Salah satu kebiasaan Kiai Usymuni adalah silaturahim pada para alim ulama. Namun pada tahun 1969, ia tak beraktivitas di luar rumah. Beliau lebih banyak menyibukkan diri mengajar di pesantren dan menerima tamu. Terbukti, beliau tak pernah absen mengisi pengajian Safinatun Al-Najah, Sullam At-Taufiq, hadist Arbain.


Cerita yang lumrah yang didengar oleh masyarakat, di usia senjanya, Kiai Usymuni setiap hari disibukkan melayani tamu. Mayoritas tamu yang sowan padanya, lebih banyak meminta petunjuk dan doa. Tidak hanya tamu lokal saja. Melainkan banyak daerah yang datang ke pesantren Tarate. Mulai dari Kalimantan, Sumatera, Jawa, dan sebagainya. Salah satu tamu yang dikenang oleh alumni adalah Ir H Soekarno Presiden pertama RI pernah sowan.


Tepat pada hari Selasa, 27 Syawal 1420 H bertepatan 17 Agustus 1982, Kiai Usymuni mengembuskan nafas terakhirnya. Jenazah dikebumikan di maqbarah Kiai Zainal Arifin atau warga mengenal kompleks pemakaman keluarga di Jeruk Purut Pamalokan, Kota, Sumenep.


Kontributor: Firdausi
Editor: Kendi Setiawan