Tokoh

KH Ali Maksum: Ulama Pembangun Karakter Bangsa

Jum, 2 Desember 2022 | 20:00 WIB

KH Ali Maksum: Ulama Pembangun Karakter Bangsa

KH Ali Maksum. (Foto lukisan K Purnomo Adi sebagai sampul buku "KH Ali Maksum: Ulama, Pesantren, dan NU" yang diterbitkan LKiS pada tahun 2019.

KH Ali Maksum adalah ulama besar Nahdliyin yang lahir di Lasem, Jawa Tengah pada tahun 1915. Kiai Ali merupakan putera dari salah satu pendiri NU yaitu KH Maksum Ahmad dengan Nyai Hj. Nuriyati.  Selain menjadi murid dari Syekh Dimyathi Tremas di Pacitan, KH Ali Maksum juga menantu ulama besar ahli Al-Qur’an yaitu KHM Munawwir Krapyak Yogyakarta.  


Dalam kiprah keulamaannya, KH Ali Maksum mulai mengembangkan pesantren milik ayahnya di Soditan, Lasem. Setelah pulang dari Makkah pada tahun 1941, Kiai Ali menekuni bidang tafsir, mewarisi gurunya yaitu Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki al-Hasani dan Syekh Umar Hamdan. Setelah wafatnya KHM Munawwir pada tahun 1942, Kiai Ali fokus dalam mengembangkan Pesantren Krapyak bersama saudara iparnya yaitu KHR Abdul Qadir Al-Munawwir dan KHR Abdullah Afandi Munawwir —yang kemudian disebut “Tiga Serangkai”. Perjuangan tersebut berhasil membesarkan Pesantren Krapyak, meskipun perjuangannya dimulai pada masa yang sulit sejak penguasaan Jepang sampai saat revolusi kemerdekaan, dan masa-masa berikutnya. 


Setelah tahun 1955, Kiai Ali mulai membangun akar kekuatan struktur dan kultural NU baik di Yogyakarta maupun wilayah lainnya di Jawa. Sasarannya adalah generasi muda, masyarakat pinggiran, akademisi, dan politisi yang memiliki simpati kepada ulama, pesantren, dan NU. Kiai Ali dalam dakwahnya selalu mengupayakan untuk menjaga persatuan NU dan umat Islam. Pada masa yang penuh krisis, terutama ketika transisi kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, Kiai Ali tampil sebagai ‘pencetus dan pengawal’ Khitah NU 1926. Langkah tersebut dilakukannya untuk menyelamatkan NU dari kepentingan politik praktis. Kiai Ali kemudian juga dipercaya menjabat sebagai Rais Aam PBNU (masa khidmah 1981-1984) dan menjadi pelopor tradisi modernisasi ulama, pesantren, serta NU dalam pembangunan karakter umat Islam dan bangsa Indonesia.


Lebih dari itu, Kiai Ali benar-benar menjadi pewaris para pendiri NU dan menjadi salah satu bagian mata rantai kesinambungan bagi pengembangan karakter bangsa. Kiai Ali adalah penerus perjuangan Hadratussyekh KH Hasyim As’ari yang merupakan salah satu pendiri bangsa dan tokoh yang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kiai Ali juga meneruskan perjuangan para seniornya di NU yang menetapkan ‘presiden, pemerintah, dan parlemen’ pasca-kemerdekaan Indonesia sebagai waliyul amri dlaruri bissyaukah. Artinya, keberadaan mereka sah dan otoritasnya harus dipatuhi. Menurut Greg Fealy (1998) dalam Ijtihad Politik Ulama: Sejarah Nahdlatul Ulama 1952-1967 diterangkan jika pandangan di atas ditetapkan oleh NU untuk membela bangsa Indonesia ketika gerakan pendirian negara Islam oleh Darul Islam (DI) gencar terjadi. 


KH Ali Maksum sangat mengetahui jika para ulama senior NU sebelumnya telah berusaha menggabungkan prinsip hukum agama, ideologi politik, dan kepentingan golongan demi kemaslahatan bangsa. Pada tahun 1950-an, NU juga merumuskan langkah-langkah yang sejalan dengan persyaratan fiqih untuk pendelegasian wewenang keagamaan, memperkuat posisi pemerintah —atau kementerian agama— untuk meningkatkan penerapan syariat dan peran ulama, melemahkan gerakan muslim separatis, serta memperlihatkan komitmen NU terhadap sistem pemerintahan yang berlaku (Greg Fealy, 2018). 


Dengan dasar itu, KH Ali Maksum secara sadar terus merawat usaha dan cita-cita para pendiri NU sebagai sebuah warisan luhur. Kiai Ali secara aktif melakukan rangkaian usaha yang terencana dan sistematis untuk mengajak segenap masyarakat Islam menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (national building). Pembangunan karakter bangsa yang dilakukan oleh KH Ali Maksum dilakukan dengan mengembangkan pendidikan keagamaan yang modern dan dinamis, berisi nilai-nilai pembangunan karakter bangsa yang dapat diterima secara langsung oleh umat Islam. 


Bangun kerukunan

Langkah nyata lainnya yang dilakukan oleh KH Ali Maksum pada tahun 1970-an dan 1980-an adalah mengupayakan pentingnya kerukunan umat beragama. Kiai Ali mendukung pengadaan berbagai forum ukhuwah demi mengatasi krisis besar umat Islam.  Dalam catatan Zuhdi Mukhdlor (1989) berjudul K.H. Ali Ma’shum: Perjuangan dan Pemikiran-Pemikirannya, Kiai Ali bersama tokoh NU lainnya menggagas pentingnya ukhuwah Islamiyah (persamaan akidah), ukhuwah basyariyah (kemanusiaan), dan ukhuwah wathaniyah (perasaan satu bangsa dan negara) untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kiai Ali juga mengajak agar umat Islam tidak memperuncing masalah khilafiyah dan menyinggung perasaan umat lain. Umat Islam juga harus memiliki jiwa besar dan memperluas cakrawala keilmuan demi kemajuan Islam dan Bangsa Indonesia (Pokok-Pokok Pikiran KH Ali Maksum, 11 Desember 1980).


Kiai Ali juga memberikan saran kepada pemerintah, terutama ketika munculnya RUU Perkawinan tahun 1973 yang dianggap bertentangan dengan hukum Islam. Pada bulan Mei 1974, KH Ali Maksum juga menyampaikan pandangannya kepada Presiden Soeharto tentang pentingnya perhatian kepada hak beragama umat Islam yang dijamin oleh Pancasila. Hal itu seiring dengan menguatnya gerakan kristenisasi dan rencana digelarnya Kongres Internasional Gereja di Indonesia (Surat KH Ali Maksum kepada Presiden Soeharto 22 Mei 1974). 


Semasa hidupnya, Kiai Ali sering memberikan saran penting tentang larangan penyebaran berita palsu, isu meresahkan, dan ujaran kebencian. Hal tersebut dilakukan oleh Kiai Ali pada kalangan pers Indonesia pada Desember 1979. Semua dilakukan oleh Kiai Ali sebagai usahanya membangun karakter bangsa yang lebih bermartabat.


Dukungan Pancasila sebagai asas tunggal

Dalam hal Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara serta pandangan hidup bangsa (way of life), sikap KH Ali Maksum adalah memberikan pandangan dan dukungan yang dihasilkan pada Munas Alim Ulama NU di Sukorejo, Situbondo tahun 1983. Pandangan dan dukungan tersebut meliputi beberapa usaha, antara lain mengawal pemulihan Khittah NU 1926 yang memiliki konsekuensi menerima asas Pancasila dalam organisasi NU, kegiatan pembinaan film nasional, pengawasan makanan, pendayagunaan zakat, modal kerja, pemberantasan perjudian dan minuman keras, masalah pakaian dan aurat, pensuksesan Keluarga Berencana (KB), serta pedoman dakwah yang sesuai Khithah NU 1926. Pidatonya pada acara Munas Alim Ulama, Kiai Ali secara tegas menyatakan bahwa Pancasila dan UUD 1945 merupakan landasan perjuangan NU dan falsafah bangsa yang tidak bertentangan dengan agama. Kiai Ali juga mengajak umat Islam jangan hanya menggunakan pola pikir agamis dalam memahami Pancasila, namun juga menggunakan pola pikir filosofis agar muncul keseragaman ketika memahami Pancasila. 


Atas berbagai sikapnya di atas, peran dan ketokohan Kiai Ali makin dikenal oleh umat Islam serta masyarakat Indonesia lainnya. Kiai Ali mampu menunjukkan bahwa umat Islam, NU, dan pemerintah dapat bersama-sama membangun sinergi untuk memajukan Bangsa Indonesia. Ahmad Athoillah (2019) dalam karyanya berjudul KH. Ali Maksum: Ulama, Pesantren, dan NU menyebutkan bahwa Kiai Ali pasca tahun 1970-an benar-benar menjadi ‘bintang NU’ karena berhasil membangun harmonisasi yang indah pada hubungan antara organisasi NU dengan pemerintah setelah sedikit renggang sejak tahun 1960 sampai 1971.


Sampai wafatnya pada 7 Desember 1989, KH Ali Maksum telah menjadi tokoh Islam penting di Indonesia pada abad ke-20 yang membangun karakter bangsa dengan tata nilai kebaikan akhlak dan moral umat Islam. KH Ali Maksum juga berhasil membangun karakter umat Islam sebagai ‘karakter Bangsa Indonesia’ dengan menanamkan nilai-nilai kehidupan nyata Bangsa Indonesia dari perwujudan dan pengamalan Pancasila dalam setiap dakwah dan pemikiran keagamaannya.


Kiai Ali juga menanamkan nilai-nilai penting seperti yang disebutkan oleh Nuswantari (2019) dalam Pendidikan Pancasila: Membangun Karakter Bangsa seperti: keimanan dan ketakwaan; kejujuran; kedisiplinan; keikhlasan; tanggung jawab; persatuan; saling menghormati; toleransi; gotong-royong; musyawarah; kerja sama; ramah tamah; keserasian; patriotisme; kesederhanaan; martabat dan harga diri; kerja keras; serta pantang menyerah. 


Ahmad Athoillah, Penulis Buku Biografi KH Ali Maksum: Ulama, Pesantren, dan NU