Daerah

Syekh Zakaria, Cermin Kerukunan Muslim dan Tionghoa

Sen, 28 Januari 2019 | 02:29 WIB

Malang, NU Online
Jika berjalan-jalan ke daerah Gunung Kawi di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Anda akan menjumpai di sana makam Syekh Zakaria. Ia adalah seorang ulama dan dianggap wali yang konon secara nasab masih berhubungan dengan Mataram, yakni dari Kanjeng Susuhan Paku Buwono I yang memiliki putera Pangeran Haryo Diponegoro. Pangeran Haryo Diponegoro memiliki putra seorang ulama terkenal bernama Kiai Zakaria I. 
 
Kiai Zakaria I memiliki putra  Raden Mas Soeryokoesoemo. Raden Mas Soeryokoesomo inilah yang kemudian bernama Syekh Zakaria II yang kemudian mengembara ke Sleman, Nganjuk, Bojonegoro, dan Blitar. Beliau pulalah (Syekh Zakaria II) yang kemudian membangun padepokan (pesantren) di lereng Gunung Kawi Wonosari Malang ini. 
 
Dalam pengembaraannya, Syekh Zakaria berganti nama menjadi Sajoego, maka terkenallah ia dengan sebutan Mbah Joego. Demikianlah apa yang sekilas mengenai cerita Syekh Zakaria yang beredar di kalangan masyarakat di sana.
 
Menuju makam Syekh Zakaria, sebentar Anda akan melewati gang-gang kecil dan sempit, namun ramai akan penjual berbagai macam cendera mata. Segera setelah itu akan keluar dari gang sempit tersebut dan disambut oleh pintu gerbang sebung Madrasah Ibtidaiyah Maarif Syekh Zakaria. 
 
Meskipun madrasah tersebut berada di pelosok desa dan di pegunungan, namun tampak bahwa pengelolaan bangunan fisik madrasah itu sangat baik. Taman dan dinding madrasah sangatlah terawat. Demikian pula halaman dan pekarangannya yang senantiasa terlihat bersih dan ditumbuhi bunga-bunga.
 
Di depan madrasah itu terdapat sebuah masjid yang cukup besar sebagai tempat penduduk sekitar dan para peziarah melaksanakan shalat berjamaah. Ukuran masjid itu demikian besar. Tempat wudhu dan toiletnya nyaman dan bersih. Demikian pula sirkulasi airnya, lancar dan deras sekali, membuat siapapun yang shalat di sana merasa kerasan. Belok kiri dari gang tersebut maka anda akan menemui jalan besar yang berpaving. Jalan ini menuju makam Syekh Zakaria. 
 
Cermin Kerukunan Pribumi dan Tionghoa
Selayaknya makam para ulama dan wali pada umumnya di Nusantara, makam Syekh Zakaria juga banyak dikunjungi masyarakat. Terkhusus pada malam Ahad Pon dan ketiak tahun baru hijriyah, para peziarah membludak di sana.
 
Namun ada yang berbeda dan unik dari pesarean Syekh Zakaria ini. Yaitu bahwa di antara para pengunjung itu bukan saja masyarakat pribumi. Bukan saja masyarakat Muslim (khususnya warga NU) saja yang datang ke sana, melainkan pula masyarakat China Tionghoa. 
 
Mereka masyarakat Tionghoa itu juga menaruh hormat pada Syekh Zakaria. Tentu saja buka lalu mereka membaca tahlil juga di sana layaknya masyarakat pribumi. Melainkan memberikan penghormatan sambil berdiri menundukkan kepala dan menabur bunga.
 
Bahkan lebih dari pada itu, jika anda berkunjung ke sana, di depan pintu gerbang makam sebelah kanan akan anda jumpai bangunan kuil Dewi Kwan Im besar nan megah di situ. Di dalamnya juga ada patung Dewi Kwan Im duduk bersila di mirbatnya layaknya di film serial Kera Sakti. Terdapat juga lilin-lilin ukuran raksasa yang senantiasa dijaga untuk tetap menyala. 
 
Saya melihat bahwa para peziarah dari kalangan Tionghoa berkunjung ke sana pula setelah menziarahi Makam Syekh Zakaria, Ahad, (27/1/2019). Herannya pula, bahwa ketika saya ke sana tidak tampak dari para masyarakat keturunan China itu yang berkunjung ke kuil Dewi Kwan Im dulu baru ke Makam Syekh, melainkan sebaliknya: ziarah dulu baru ke kuil.
 
Kita juga melihat bahwa di antara mereka meskipun dengan latar etnis yang berbeda tampak rukun dan tidak saling merasa terganggu dan mengganggu satu sama lain. Para peziarah dari kalangan pribumi dengan santai dan khusyuk membaca tahlil, yasin atau istighotsah. Sedang dari kalangan masyarakat keturunan China memberikan penghormatan sambil menundukkan kepala dan menabur bunga. Bahkan tanpa rasa canggung mereka sepulang ziarah tawar menawar dalam jual beli bersama penduduk setempat.
 
Pada Mulanya
Lalu, kita mungkin bertanya-tanya bagaimana awal mulanya hal ini terjadi? Menurut cerita, bahwa pribadi Syekh Zakaria sebagai seorang bangsawan yang sangat alim, ia tak pernah membeda-bedakan siapa yang datang dan membutuhkan bantuannya. Semua Ia bantu tanpa menghiraukan latar belakang ekonomi, sosial, suku, bangsa dan bahkan agama.
 
“Syekh Zakaria itu mas, beliau santun tan suka membentuk masyarakat sekitar. Siapapun yang datang meminta bantuan, ia bantu. Tak memandang suku apa, bangsa apa bahkan agama apa.” Kata juru kunci masjid Syekh Zakaria yang penulis tak sempat tanya namanya.
 
“Suatu saat ada seorang China bertemu kiai Zakaria. Seorang China ini ceritanya usahanya selalu gagal. Dan kemudian minta masukan kepada Syekh Zakaria. Kemudian Syekh Zakaria mendoakan orang tersebut dan diberi bekal beberapa ruas tanaman ketela rambat,” ceritanya.
 
“Keanehan terjadi bahwa saat ruas tanaman ketela rambat itu ditanam sore hari oleh orang tersebut, pagi sudah dapat dipanen. Demikian terus terjadi,” lanjutnya.
 
Si orang China tersebut merasa sangat bahagia dan gembira melihatnya. Lalu ia menjadi sering datang kepada Syekh Zakaria sebagai tanda terima kasih. Selain itu ia juga mulai membawa keluarganya untuk meminta doa kepada Syekh Zakaria. Demikian pula teman-temannya diajaknya juga. 
 
Dari situlah tradisi ziarah masyarakat Tionghoa bermula. Hal ini tidaklah mengherankan karena dalam tradisi masyarakat China pun yang kemudian diformalisasi ke dalam agama tradisi Konghucu penghormatan kepada leluhur yang berjasa juga merupakan tradisi yang kuat dijalankan masyarakat China. (R. Ahmad Nur Kholis/Abdullah Alawi)