Daerah

Tasawuf untuk Semua Kalangan

NU Online  ·  Ahad, 17 Mei 2015 | 17:00 WIB

Yogyakarta, NU Online
Beberapa orang mengatakan, ilmu tasawuf adalah ilmu kolot dan jumud. Tidak sedikit pula yang mengatakan bahwa ilmu tasawuf adalah ilmu yang sangat berat untuk dicerna. Oleh karenanya, tasawuf tidak cocok dipelajari oleh anak muda. Namun, anggapan itu tidak berlaku pada Kajian Al Hikam Progresif yang diselenggarakan di Pendopo Hijau Yayasan LKiS Sorowajan, Yogyakarta.
<>
Kajian yang diselenggarakan pada tanggal 15 Mei 2015 ini menghadirkan KH Ahmad Rodli sebagai pembicara. Alumnus Perguruan Islam Mathali’ul Falah Kajen itu membawakan kajian tasawuf kitab Al Hikam yang dikenal berat menjadi lebih ringan. Ia membawakan kitab karya Ibnu Athaillah Al-Iskandary sesuai dengan kapasitas peserta yang hampir semuanya mahasiswa.

“Kitab ini merupakan kitab yang ditulis berdasarkan pengalaman mushanif,” jelas Rodli mengawali kajian. Kiai nyentrik yang kini menjabat sebagai ketua jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Sunan Kalijaga itu menambahi, karena sifatnya pengalaman batin, kitab tasawuf tersebut tidak bisa disalahkan, setidak rasional apapun itu. 

“Tidak semua bahasan agama itu bisa dirasionalkan,” ujarnya menegaskan.

Rodli mengisi kajian tersebut dengan berbagai cerita, baik dari kisah-kisah para sufi, hingga pengalaman pribadinya. Salah satu yang diceritakannya adalah pengalamannya ketika pergi ke Mesir. Ternyata di tanah kelahiran Ibnu Athaillah itu, Islam yang berkembang tidak jauh berbeda dengan Islam di Indonesia. Hanya saja keunggulan di sana adalah faktor bahasa. 

“Celakanya, banyak orang Indonesia yang mengatakan kalau Arab lebih bagus. Padahal belum tentu.”

Berbicara tentang pekerjaan dan hasil, Rodli berpendapat bahwa usaha atau pekerjaan tidak ada hubungannya dengan hasil. Seorang tukang becak yang bekerja keras seharian hanya mendapatkan hasil uang tidak seberapa. Sedangkan pelaku prostitusi online yang tengah diusut pihak berwenang justru mendapat hasil yang melimpah. Ia menegaskan bahwa kewajiban manusia hanyalah berusaha. Masalah hasil, itu sudah wilayah Tuhan.

Dwi Iskandar selaku panitia menjelaskan bahwa Kajian Al Hikam Progresif rencananya akan diselenggarakan setiap Jumat pertengahan bulan. Kajian ini adalah upaya Keluarga Mathali’ul Falah Yogyakarta membumikan khazanah keilmuan pesantren di Yogyakarta. Ia merasa iba ketika ada alumni pesantren yang duduk di bangku kuliah justru meninggalkan tradisi-tradisi pesantren. 

“Padahal tradisi kitab kuning semacam ini perlu dilestarikan.” Para alumni pesantren, menurutnya, bertanggung jawab untuk menghidupkan iklim intelektual pesantren di manapun berada. Ia menambahi, untuk menyesuaikan iklim akademik, yang perlu dilakukan adalah membuat inovasi. 

Mengenai pemilihan tema tasawuf, tujuan panitia adalah mengenalkan tasawuf kepada semua kalangan. 

“Tasawuf itu bisa dipelajari oleh siapa saja. Bahkan bagi anak muda seperti kita, ilmu ini juga penting. Tasawuf sama sekali berbeda dengan jumud sebagaimana banyak dipersepsikan orang,” tukasnya. (sarjoko/mukafi niam)