Semarang, NU Online
Peringatan meninggalnya ulama merupakan salah satu bukti kebersamaan umat. Diharapkan dengan kegiatan yang dikenal dengan haul tersebut agar selalu terjaga hingga telah kembali pada Sang Khalik.
Penegasan ini diungkapkan KH Achmad Fauzi Shodaqoh pada haul KH Shodaqoh Hasan ke 31. Kegiatan dipusatkan di halaman Masjid Baitul Latif, kompleks Pondok Pesantren Al-Itqoon Bugen Tlogosari Wetan Pedurungan Semarang, Jawa Tengah.
KH Shodaqoh Hasan merupakan salah satu menantu pendiri Pondok Pesantren Al-Itqoon yang meninggal pada tahun 1988. "Haul ini bukti kita ini benar-benar bersama-sama dengan para ulama," ucapnya, Sabtu (8/6).
Lebih lanjut, salah satu pengasuh Pondok Pesantren Aribathul Islami (PP Aris) Kaliwungu Kendal ini mengucapkan terima kasih atas kehadiran para jamaah maupun alumni yang hadir untuk menghormati haul KH Shodaqoh Khasan.
Sementara, KH Mu'tashim Shodaqoh mengingatkan hal yang tidak disukai oleh umat manusia, padahal hal tersebut merupakan pintu menuju kebebasan atas belenggu dunia. "Ada dua hal yang paling dibenci oleh anak turun Adam," tuturnya.
Kiai Mu'tashim menuturkan hal yang pertama dari yang dimaksudkan adalah membenci mati. Hal ini merupakan fenomena kontraproduksi terhadap Nabi Muhammad SAW yang menyunnahkan umatnya untuk dzikrul maut atau mengingat mati.
Dunia diibaratkan sebagai penjara bagi orang Mukmin, katanya, dan mati merupakan bentuk terlepasnya seorang Mukmin dari belenggu dunia. Namun demikian mati merupakan sesuatu yang dibenci oleh manusia.
Pesan lain yang disampaikan tentang dua kalam, yaitu kalam yang terucap dan kalam tak terucap. Dijelaskannya kalam yang terucap adalah Al-Qur’an, sedangkan kalam yang tak terucap adalah mati.
Oleh sebab itu, umat Islam diharapkan menjaga Al-Qur’an dengan cara berbeda dan disesuaikan kemampuan yang ada. Demikian pula mati harusnya menjadi sarana untuk semakin mengingatkan kepada kebaikan yang hakiki.
Selain itu, dia menyampaikan bahwa orang yang mengingat mati dalam keadaan tanpa beban dunia lebih ikhlas dibanding dengan yang mengingat mati di kala memiliki kemewahan dunia. (Rifqi,Nafis/Ibnu Nawawi)