Daerah

Ulama Aceh Imbau Masyarakat Atur Pengeras Suara saat Tadarus Al-Qur'an di Masjid Selama Ramadhan

Sen, 11 Maret 2024 | 12:45 WIB

Ulama Aceh Imbau Masyarakat Atur Pengeras Suara saat Tadarus Al-Qur'an di Masjid Selama Ramadhan

Ulama kharismatik Aceh sekaligus Mustasyar PBNU Syekh H Hassanoel Basri atau Abu Mudi. (Foto: Helmi Abu Bakar)

Bireuen, NU Online

Ulama kharismatik Aceh Syekh H Hassanoel Basri atau akrab disapa Abu Mudi mengimbau masyarakat untuk mengatur pengeras suara saat melakukan tadarus Al-Qur'an di masjid selama bulan Ramadhan. 


Ia mengatakan, salah satu kebiasaan umat Islam saat tadarus Al-Qur'an di masjid adalah menggunakan pengeras suara sehingga terkadang dapat mengganggu kenyamanan orang lain. 


"Salah satu kebiasaan dalam bulan Ramadhan  pembaca Al-Qur'an sering menggunakan pengeras suara sehingga menyebabkan masyarakat sekitar terganggu dengan suara tersebut. Dalam syariat Islam, mengganggu orang hukumnya berdosa. Sebenarnya yang dilarang bukan bacaan Al-Qur'an tetapi diri mengganggu orang dengan suara tersebut," ungkap Mustasyar PBNU itu dalam penutupan pengajian Tastafi di Balee Al-Bakrie Samalanga, kepada NU Online, Sabtu (9/3/2024).


Abu Mudi memgimbau, hendaknya masyarakat yang ingin membaca Al-Qur'an dapat menggunakan pengeras suara internal yang hanya didengar oleh orang yang berada di dalam masjid atau mushala. Hal ini perlu dilakukan agar tidak mengganggu ketertiban masyarakat apabila ada kesalahan. 


"Intinya  ibadah yang dilakukan tidak boleh mengganggu orang lain dan juga jangan mengundang dosa orang lain saat adanya kesalahan membaca Al-Qur'an," jelas Abu Mudi. 


Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah itu menjelaskan bahwa pendapat tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid Abdurrahman Al-Masyhur Ba'alawi dalam karyanya berjudul Bughyatul Mustarsyidin


"Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa sekelompok orang membaca Al-Qur'an dengan lantang di masjid. Sebagian orang mengambil manfaat dari pengajian mereka. Tetapi sebagian orang lainnya terganggu. Jika maslahatnya lebih banyak dari mafsadatnya, maka baca Al-Qur'an itu lebih utama (afdhal). Tetapi jika sebaliknya yang terjadi, maka baca Al-Qur'an itu menjadi makruh. Selesai. Fatwa An-Nawawi," ulas Abu Mudi. 


Ia juga berpesan kepada jamaah agar tetap berpegang kepada pengumuman resmi pemerintah dalam hal penentuan awal Ramadhan. 


"Dinamika penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri berdasarkan pendapat ulama dan guru kita mereka berpegang kepada pengumuman pemerintah, apabila ada saudara kita yang berbeda atau individu ulama yang berbeda tetap kita harus menghormatinya, intinya hal tersebut berpegang kepada pengumuman pemerintah dan hendaknya ini menjadi pegangan kita bersama," harap Abu Mudi.


Pendiri Universitas Islam Al-Aziziyah Indonesia (UNISAI) Samalanga itu juga mengatakan bahwa pemerintah daerah juga sudah memberikan rekomendasi pembayaran zakat fitrah dengan makanan pokok. 


"Masyarakat dalam membayar zakat dengan beras sepertinya bukan hanya ajakan ulama melalui mimbar namun pemerintah daerah via Kementerian Agama dan elemen lainnya juga telah memberikan anjuran untuk zakat fitrah dengan beras dan ini tentunya sesuatu yang sangat baik," jelas Abu Mudi. 


Ia menambahkan, hendaknya panitia zakat dapat memberikan penjelasan terkait hal tersebut dan menyediakan beras apabila ada masyarakat yang membawa uang sambil memberikan pengertian kewajiban zakat dengan beras (makanan pokok). 


"Solusi lainnya panitia juga menyediakan beras untuk dijual kepada masyarakat yang membawa uang, sehingga masyarakat membeli beras dan menunaikan zakat fitrah dengan beras," paparnya.