Daerah

Yenny Wahid Kenang Susahnya Masa Kecil Gus Dur Jalani Kehidupan

Sel, 5 Januari 2021 | 05:15 WIB

Yenny Wahid Kenang Susahnya Masa Kecil Gus Dur Jalani Kehidupan

Pengasuh Yayasan Raudlah Darus Salam, HM. Misbahus Salam (pegang mic) saat Haul ke-11 Gus Dur di masjid lingkungan yayasan itu, Senin (4/1) malam. (Foto: NU Online/Aryudi A Razaq)

Jember, NU Online
Selama ini Gus Dur dikenal sebagai ulama sekaligus presiden dengan rangkaian perjuangan kemanusiaan yang mengiringinya. Namun ada sisi lain dari kehidupan Gus Dur yang jarang dibahas, yaitu masa kecilnya yang tergolong ‘susah’.


Menurut putri Gus Dur, Yenny Wahid, Gus Dur menempuh pendidikan dalam kondisi yatim karena ayahnya (KH Wahid Hasyim) wafat dalam usia muda. Saat KH Wahid Hasyim wafat, ibu Gus Dur (Nyai Hj Solichah) sempat diminta pulang ke Jombang oleh ayahya, KH Bisri Syansuri. Namun ia minta kerelaan sang ayah untuk tetap tinggal di Jakarta, membesarkan putra-putrinya.


“Ibu Gus Dur berjualan untuk menyambung hidup dan membesarkan anak-anaknya,” ucap Ning Yenny, sapaan akrabnya, saat memberikan sambutan Haul ke-11 Gus Dur yang digelar secara virtual oleh Yayasan Raudlah Darus Salam, Desa Sukorejo, Kecamatan Bangsalsari Jember, Jawa Timur di masjid setempat, Senin (4/1) malam.


Ning Yenny menuturkan, dalam kondisi yatim, Gus Dur menempuh pendidikan hingga berhasil mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Mesir, Irak hingga Eropa. Saat kuliah, tambahnya, Gus Dur sambil bekerja, berjualan, dan angkut-angkut barang untuk menopang hidupnya.


“Gus Dur menjalani perjuangan hidup hingga menjadi presiden tidak mudah, melalui liku-liku kehidupan, tidak langsung enak,” jelasnya.


Sementara itu, pengasuh Yayasan Raudlah Darus Salam, H M. Misbahus Salam mengatakan bahwa saat mengenang atsar atau peninggalan Gus Dur, KH R. As'ad Syamsul Arifin, dan KH Ahmad Siddiq dan para ulama lainnya, sangat penting untuk menyegarkan kembali ingatan masyarakat terkait peran dan perjuangan mereka dalam menjaga kedamaian Indonesia.

 

Salah satunya adalah keputusan Muktamar NU di Situbondo (1984) dengan mengembalikan NU pada Khittah NU 1926 dan penerimaan Pancasila sebagai azas tunggal bangsa Indonesia.


“Tiga tokoh itu punya peranan besar dalam Muktamar di Situbondo yang akhirnya melahirkan keputusan itu. Dan Indonesia menjadi kondusif hingga aman dan selamat dari perpecahan,” ucapnya.


H Misbah menyatakan bersyukur Indonesia memiliki para ulama, termasuk ketiga sosok yang istimewa itu. Sebab, mereka adalah pejuang-pejuang perdamaian dengan terus menampilkan Islam yang rahmatan lil alamin. Itu tak lain karena NU memang menjunjung tinggi toleransi, medorasi dan pluralisme.


“Dan siapapun tahu Gus Dur adalah sosok yang sangat plural, pejuang kemanusiaan,” tambahnya.


Pewarta:  Aryudi A Razaq
Editor: Muhammad Faizin