Opini

Arti Agama Islam bagi Orang Betawi

Jum, 17 Juli 2020 | 06:00 WIB

Arti Agama Islam bagi Orang Betawi

Islam dan masyarakat Betawi tidak dapat dipisahkan. Membahas masyarakat Betawi berarti membahas Islam. Ia menyatakan, apa jadinya masyarakat Betawi tanpa Islam?

Jangan main-main, becandain, orang Betawi jika menyangkut Islam, juga kebudayaannya.  Apalagi menjadikan budaya Betawi sebagai alat untuk melancarkan misi agama di luar Islam. Ini bisa masuk ke ranah pidana! Kenapa bisa?


Karena Islam adalah identitas tunggal dan total masyarakat Betawi. (Pernyataan Fachry Ali pada Semiloka Kebudayaan Betawi, Sabtu, 26 Juni 2010)


Perhelatan ilmiah para pemerhati, peneliti, cendikawan, seniman dan budayawan Betawi dalam sebuah Semiloka Kebudayaan Betawi di Hotel Borobudur, 26 sampai 28 Juni 2010 yang disponsori dan difasilitasi oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta banyak memberikan masukan dan menghasilkan keputusan yang bermakna berupa rekomendasi di bidang politik, sosial, agama, ekonomi dan seni budaya. 


Khusus di sesi seminar yang bertajuk Islam, Orang Betawi, dan Eskapisme Sosial dengan penyaji Fachry Ali, pembahas Yasmine Zaki Shahab, narasumber Hj Tuti Alawiyah, dan KH Saifuddin Amsir, ada tesis yang menarik untuk diulas. Tesis yang diajukan oleh antropolog Fachry Ali tentang hubungan Islam dan masyarakat Betawi. Menurutnya, Islam dan masyarakat Betawi tidak dapat dipisahkan. Membahas masyarakat Betawi berarti membahas Islam. Ia menyatakan, apa jadinya masyarakat Betawi tanpa Islam?


Tesis Fachry Ali ini telah memperkuat tesis-tesis sebelumnya yang diajukan para peneliti Betawi dan mengukuhkan Islam sebagai identitas tunggal dan total masyarakat Betawi. Walhasil, hal itu juga mengukuhkan Islam sebagai sumber utama dan rujukan bagi pembentukan kebudayaan Betawi. Sebut saja tesis-tesis dari banyak ahli yang pernah disampaikan oleh Yasmine Zaki Shahab pada acara Semiloka Betawi Corner yang diadakan di Jakarta Islamic Centre (JIC), Selasa, 18 Maret 2008.


Menurutnya, identik dengan Islam telah menjadi ciri khas Betawi yang dikenali dan diakui bahkan amat ditekankan dan ditegaskan oleh para penulis ataupun pengamat Betawi baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Ahli ilmu-ilmu sosial, linguist, pegawai pemerintah, wartawan, orang awam tanpa terkecuali mendukung pandangan ini seperti tampak pada kutipan-kutipan berikut.


"… the orang Betawi, ………… were devout and orthodox Muslim (Abayasekere, 1985:21. Ia menulis mengenai aspek sejarah dari masyarakat Betawi).


"The Betawi were strongly Islamic, as can be seen in their customary…" (Tilden, 1985: 35. Ia menulis tentang bahasa Betawi).


"Orientasi terhadap agama Islam yang amat kuat dalam kehidupan sehari-hari mereka merupakan salah satu faktor yang menyebabkan orang Betawi terkebelakang dalam pendidikan. Sekolah dilihat sebagai Kristen (Belanda). Di samping itu para guru agama mendorong mereka untuk pergi ke sekolah agama dan tidak ke sekolah Kristen"


Masih menurut Yasmine, kutipan-kutipan di atas menunjukkan persepsi orang luar, sejarawan, linguist dan antropolog mengenai orang Betawi. Persepsi ini dinamakan model pengamat. Orang Betawi sendiri mempunyai persepsi mengenai kelompoknya yang dinamakan model lokal. Berikut salah satu kutipan informannya dalam penelitian yang dilakukan Yasmine pada tahun 1990:


"Saya tahu bahwa orang itu mempunyai perhatian dan peran yang besar terhadap Betawi. Tapi sulit bagi kita untuk melihat dia sebagai orang Betawi karena dia bukan Islam. Bukan karena dia orang Cina. Saya yakin orang Betawi yang lain juga sependapat dengan saya."


Tampaknya, menurut Yasmine, proses sosialisasi pada masyarakat Betawi merupakan salah satu faktor yang amat berpengaruh pada pembentukan ciri religius dari masyarakat Betawi, seperti tampak dari kutipan otobiografi Ridwan Saidi, salah seorang Betawi.


''Terdapat sebuah masjid bernama An-Nur di dekat rumah saya, yang didirikan pada tahun 1926 oleh Haji Tabri Thamrin, ayah dari Muhammad Husni Thamrin. Sama dengan masyarakat Betawi lainnya, masjid merupakan pusat kegiatan anak-anak. Kami, anak-anak, bermain di masjid sepanjang siang. Kami pergi ke pengajian pada pagi hari yang diselenggarakan di mesjid. Amat umum untuk anak Betawi disekolahkan ke pengajian sebelum mereka masuk sekolah umum. Nenek saya mengantar saya ke engkong Musa, imam mesjid, untuk ikut dalam pengajiannya. 


Murid-muridnya semua teman saya, membuat saya merasa ada di rumah. Kami belajar membaca Al-Qur’an dan belajar sembahyang. Bayarannya secara sukarela. Wajah engkong Musa masih tertanam amat dalam di ingatan saya, laki-laki tua yang kuat, yang melakukan pekerjaannya secara ikhlas. Ketika kami berumur sepuluh tahun, pengajian mengambil tempat di rumah engkong Musa yang dilakukan malam hari. Setelah pengajian selesai, kami bermain di halaman mesjid. Saya menyadari kemudian, bahwa atmosfir keagamaan inilah yang membentuk kepribadian saya (Saidi, 1986). 


Penulis: Rakhmad Zailani Kiki.

Editor: Alhafiz Kurniawan