Opini

Gus Sholah dan Islam Nusantara

Sen, 3 Februari 2020 | 13:00 WIB

Gus Sholah dan Islam Nusantara

KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah). (Foto: Istimewa)

Oleh Fathoni Ahmad

Menjelang pukul 14.00 WIB pada 26 Januari 2017, rombongan kegiatan Anjangsana Islam Nusantara STAINU (kini Unusia) Jakarta sampai di Ndalem (kediaman) KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Kegiatan Anjangsana Islam Nusantara yang digagas oleh para dosen Pascasarjana STAINU Jakarta ini berusaha menelusuri dan menyambung sanad keilmuan dengan basis pondok pesantren, selain tentu bersilaturahim dan ziarah ke makam para ulama di Jawa.

Secara spesifik, Gus Sholah memang lebih suka menyebut Islam Indonesia ketimbang Islam Nusantara. Namun, penerimaan beliau terhadap rombongan Anjangsana Islam Nusantara menunjukkan perhatiannya terhadap sanad-sanad keilmuan yang dikembangkan Pascasarjana STAINU Jakarta yang berupaya mengembangkan Islam Nusantara sebagai sebuah disiplin keilmuan.

Sebelumnya, rombongan Anjangsana juga sempat shalat berjamaah di masjid pesantren yang bersejarah sebelum menghadap Gus Sholah. Tepat pukul 14.00 WIB kami serombongan diterima Gus Sholah di Ndalem Kasepuhan. Sebagaimana adat pesantren, sebelum menerima wejangan kami dijamu makan terlebih dahulu.

Zastrouw Al-Ngatawi yang merupakan ketua rombongan Anjangsana Islam Nusantara kala itu mencatat dua hal penting yang dari wejangang Gus Sholah.

Pertama, terkait dengan memudarnya budaya dan tradisi pesantren. Menurut beliau saat ini banyak tradisi pesantren yang tergerus perubahan zaman, termasuk di Tebuireng. Misalnya tradisi membaca kitab dan penguasaan khazanah keilmuan Islam klasik. Tuntutan formalisme pendidikan dan penerapan sistem kelas dengan kurikulum keilmuan modern membuat para santri tidak memiliki waktu mengaji kitab-kitab klasik seperti di pesantren tempo dulu.

Untuk mengembalikan tradisi yang hilang itu, Gus Sholah menghidupkan kembali tradisi tersebut dengan membuka madrasah program khusus. "Di dalam madrasah sistem ini kami mencoba menghidupkan kembali tradisi pesantren yang hilang, kitab-kitab yang diajarkan ya yang sesuai dengan standar pesantren klasik," papar Gus Sholah. "Selain itu, metode yang digunakan juga metode pesantren klasik dengan beberapa penyesuaian," tambah Gus Sholah.

Menurut Gus Sholah, kendala dalam sistem pendidikan ini justru datang dari orang tua yang masih menuntut agar anaknya diberi pelajaran ilmu umum sesuai kurikulum nasional. "Ini tidak bisa karena terlalu banyak beban. Kalau dipaksakan malah tidak jadi semua, karena nanggung," demikian Gus Sholah menjelaskan. "Dalam hal ini orang tua memang harus memilih," lanjutnya.

Kedua, Gus Sholah memberikan wejangan mengenai pentingnya menjaga otentisitas pemikiran Mbah Hasyim Asy’ari. Menurut beliau, saat ini sudah banyak terjadi penyelewengan terhadap pemikiran Mbah Hasyim. "Ini bukan berarti tidak boleh ada penafsiran atau aktualisasi pemikiran Mbah Hasyim. Itu sesuatu yang harus dilakukan, tetapi harus dibedakan antara penafsiran dan pengembangan dengan penyelewengan," tegas Gus Sholah.

Untuk menjawab persoalan ini, Gus Sholah ingin mendirikan Pusat Kajian Hasyim Asy'ari. Lembaga ini tidak hanya melakukan kajian secara intens dan mendalam terhadap pemikiran Mbah Hasyim tetapi juga mendata dan mengumpulkan berbagai karya Mbah Hasyim yang masih berserakan. Berdasarkan penelusuran Gus Ishom (almarhum) ada 14 kitab karya Mbah Hasyim Asy’ari dan beberapa manuskrip yang belum diterbitkan.

Selain menyampaikan beberapa wejangan yang terkait dengan dengan pesantren, NU dan berbagai kondisi sosial budaya, Gus Sholah juga memberikan beberapa saran, masukan, dan kritik terhadap konsep Islam Nusantara yang sangat berguna untuk menyempurnakan konsep dan pemikiran Islam Nusantara di Unusia. Kini di Unusia telah mengembangkan Islam Nusantara menjadi sebuah fakultas yang membuka layanan SKI Islam Nusantara dari S1 hingga S3.

Setelah menerima wejangan dari Gus Sholah, rombongan Anjangsana pamit untuk berziarah ke makam Gus Dur di areal makam keluarga Tebuireng yang berjarak sekitar 40 meter dari Ndalem Gus Sholah. Seperti biasa suasana makam masih ramai oleh para peziarah meski dalam saat itu dalam kondisi hujan lebat. Semua anggota rombongan duduk bersimpuh di areal makam Gus Dur sambil khusyuk berdoa di antara rintik-rintik hujan yang yang melai reda.

Kini, Gus Sholah telah meninggalkan kita semua untuk selama-lamanya. Beliau meninggal dunia di RS Harapan Kita, Jakarta, Ahad (2/2), pada 20.59 WIB. Gus Sholah wafat di usia 77 tahun. Ia merupakan adik kandung KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Ulama kelahiran 11 September 1942 ini adalah anak ketiga dari pasangan KH Wahid Hasyim dan Nyai Hj Sholihah. Selain Gus Dur, saudara Gus Sholah adalah Nyai Aisyah, Umar Alfaruq, Nyai Lily Wahid, dan Muhammad Hasyim.

Penulis adalah salah seorang rombongan Anjangsana Islam Nusantara 2017