Opini

Juragan Haji Pengabdi Hawa Nafsu

Jum, 31 Juli 2020 | 06:00 WIB

Juragan Haji Pengabdi Hawa Nafsu

Terbatasnya jumlah jamaah perlu kembali direnungkan oleh kita yang hendak berkali-kali ke sana. Pasalnya, masih banyak saudara-saudara kita yang belum mencicipi nikmatnya bersimpuh dan bertawaf mengelilingi Ka’bah, khidmatnya menemui Rasulullah di Raudah, meraih pahala shalat Arbain di Masjid Nabawi, dan segala macam keistimewaan lainnya.

Labbaik allahumma labbaik labbaika laa syarika laka labbaik. Setiap Muslim pasti berkeinginan melafalkan kalimat talbiyah tersebut di Masjidil Haram sembari mengelilingi Kabah. Bahkan keinginan itu bisa muncul berkali-kali. Terbukti sepulang dari tanah suci, umat Islam yang ditanya apakah ingin kembali ke sana, hampir dapat dipastikan menjawabnya "iya".


Hal itu pula yang dilakukan oleh Juragan dan keluarganya dalam cerpen Juragan Haji karya Helvy Tiana Rosa. Saat itu, Bu Juragan menyampaikan ke pembantunya, Mak Siti, akan haji keempat kalinya, sedang bagi Juragan untuk kelima kalinya, meskipun kondisi ekonomi tengah terpuruk akibat krisis moneter.


Mendengar itu, Mak Siti amat kagum. Betapa tidak, ia yang tak pernah membayangkan dapat menunaikan rukun Islam kelima itu, sementara majikannya sudah berkali-kali, bahkan meski ekonomi sedang krisis. Alasan Bu Juragan berangkat lagi karena daripada hartanya digunakan untuk hal yang tidak-tidak.


Membaca cerpen ini, pikiran saya jatuh ke Allahu Yarham KH Ali Mustafa Yaqub, Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 2010-2015. Kiai ahli hadis itu memberikan fakta kontekstual yang perlu menjadi renungan bagi orang macam Juragan dan isterinya yang hendak berangkat haji untuk kedua kali dan seterusnya.


Indonesia masih memiliki jutaan orang miskin dan anak yatim yang perlu uluran tangan, banyak orang tertimpa bencana yang butuh bantuan moral dan materi, tak sedikit yang terkena pemutusan hubungan kerja, bangunan pesantren yang terbengkalai, masjid yang roboh, dan sebagainya. Di saat demikian, kata Kiai Ali, kita patut bertanya pada diri sendiri, "Apakah haji kita itu karena melaksanakan perintah Allah swt?"


Sebagai seorang muslimah, Mak Siti juga mendambakan dapat menunaikan haji. Tapi hal itu bagai pungguk merindukan bulan. Gajinya yang hanya Rp80 ribu sebulan tentu perlu setidaknya 313 bulan atau lebih dari 26 tahun untuk mencapai satu kuota haji yang seharga Rp25 juta. Itu pun kalau ia tidak mengirimkan uangnya ke kampung.


Kiai Ali menegaskan bahwa ibadah haji bersifat personal (qashirah), sedang menyantuni mereka yang faqir, mereka yang amat membutuhkan uluran tangan itu bersifat sosial (mutaaddiyah), manfaatnya tidak hanya bagi diri pribadi saja, melainkan juga untuk orang lain.


Lagi pula, lanjutnya, ibadah kedua itu dicontohkan sendiri oleh Rasulullah saw. dan para sahabatnya dengan menanggung hidup sahabat ahlus suffah, kelompok sahabat yang tidak memiliki apa-apa kecuali dirinya sendiri. Bahkan, dalam sebuah Hadis Qudsi riwayat Imam Muslim, tulis Kiai Ali, Allah swt dapat ditemui di sisi orang sakit, orang kelaparan, orang kehausan, dan orang menderita.


Di samping itu, terbatasnya jumlah jamaah juga perlu kembali direnungkan oleh kita yang hendak berkali-kali ke sana. Pasalnya, masih banyak saudara-saudara kita yang belum mencicipi nikmatnya bersimpuh dan bertawaf mengelilingi Ka’bah, khidmatnya menemui Rasulullah di Raudah, meraih pahala shalat Arbain di Masjid Nabawi, dan segala macam keistimewaan lainnya.


Mereka ada yang mengantre bertahun-tahun demi dapat menyempurnakan Islamnya yang tentu tak akan sempurna itu. Terlebih tahun ini harus tertunda karena pandemi. Jadwal pun terpaksa mundur.


Jika Juragan dan isterinya itu hendak melaksanakan haji untuk kelima dan keempat kalinya, sedang asisten rumah tangganya saja belum melaksanakannya, perlu dipertanyakan. Kiai Ali mengingatkan dalam tulisannya, bahwa setan tidak hanya menggoda manusia untuk berbuat jahat, tetapi juga merayunya untuk beribadah, salah satunya adalah berhaji.


Maka ketika juragan tersebut melaksanakan haji karena dorongan iblis melalui hawa nafsunya, Kiai Ali menyebutnya sebagai haji pengabdi setan.


Orang-orang seperti Mak Siti juga punya hak yang sama untuk dapat menunaikan mimpinya, berangkat haji. Jangan sampai kita menjadi penghambat. Mestinya justru kita menjadi orang yang menggelar karpet merah bagi mereka.


Mengutip Al-Ghazali, Ulil Abshar Abdalla menyebut bahwa syahwat dilawan syahwat. Karena sudah berhaji, memberikan kesempatan orang melaksanakan hal yang sama tentu punya dobel keistimewaan, (1) menahan hasrat berhaji dan (2) orang lain dapat kesempatan menunaikan haji.


Pengajar Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) itu menyatakan cara terbaik mengendalikan nafsu terkadang bukan dengan cara memutuskan syahwat secara total. Hal demikian, menurutnya, bisa menjadi bumerang, sehingga perlu menurunkan dosisnya. Memberikan ONH yang dimiliki untuk orang yang belum berhaji bisa menjadi cara mengendalikan diri untuk lagi dan lagi menunaikan rukun Islam setelah puasa itu, toh sama-sama digunakan untuk ibadah haji.


 

 

Syakir NF, mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama