Opini

Kehangatan Masyarakat Tunisia 

Sen, 2 Mei 2022 | 12:00 WIB

Kehangatan Masyarakat Tunisia 

Sebagai orang Indonesia, saya pribadi merasa nyaman dan gembira dapat merasakan langsung keramahtamahan masyarakat Tunisia.

"Aslema. Labes?" yang artinya, "Halo. Apa kabar?" ucap salah seorang warga Tunisia kepada saya. Tak diragukan lagi bahwa masyarakat Tunisia memiliki karakter yang ramah, termasuk kepada orang asing. Mereka tidak ragu menyapa siapapun yang ditemuinya ketika berpapasan di jalan. Faktanya, menyapa dan menanyakan kabar menjadi tradisi yang sudah melekat pada karakter masyarakat di Negara yang berbatasan dengan Italia ini. 


Fenomena ini pun mengingatkan saya kepada Tanah Air tercinta. Karena sejatinya, sifat ramah merupakan ciri khas autentik orang Indonesia. Hal ini juga tidak bisa dilepaskan dari peran nenek moyang kita yang telah mewariskan tradisi adiluhung dan mengajarkan tentang sopan santun serta bersikap baik kepada siapa pun. 


Murah senyum, suka menolong sejak dari hal kecil seperti menunjukkan arah jalan kepada orang yang bertanya, serta budaya gotong royong adalah karakter luhur yang senantiasa dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia. 


Saat ini, di Tunisia ada sekitar 150 mahasiswa Indonesia. Yang menarik, sifat ramah dan sopan santun lah yang menjadi sorotan para dosen dan mahasiswa Tunisia terhadap para pelajar Indonesia. Mereka sangat senang dan mengapresiasi akhlak mulia mahasiswa Indonesia. Tentu hal ini merupakan kebanggaan dan nilai positif yang harus senantiasa dijaga, bahkan oleh seluruh masyarakat Indonesia di mana pun berada. 


Kembali ke karakter masyarakat Tunisia. Sebagai orang Indonesia, saya pribadi merasa nyaman dan gembira dapat merasakan langsung keramahtamahan masyarakat Tunisia. Ketika bertemu, mereka akan menyapa dan menanyakan kabar dengan hangat. Bahkan, jika sudah kenal lebih dekat, suatu keniscayaan bahwa orang Tunisia akan memeluk dan merangkul kita dengan penuh cinta. Mereka tidak membedakan ras, suku, maupun agama. Siapa pun yang mereka temui, akan merasakan kehangatan kasih sayang yang sama. 


Sejatinya, keramahtamahan mereka juga tidak bisa dilepaskan dari pemikiran cendekiawan terkemuka asal Tunisia, Ibnu Khaldun. Ia sangat dihormati dan menjadi kebanggaan masyarakat Tunisia. Jika kita berkunjung ke Ibu kota Tunisia, kita akan menemukan patung Ibnu Khaldun berdiri kokoh di pusat kota. Fakta ini pun menjadi bukti kecintaan warga Tunisia terhadap Ibnu Khaldun yang memiliki peran penting dalam pembangunan peradaban manusia di Tunisia. 


Keramahtamahan warga Tunisia ini senada dengan apa yang telah disampaikan oleh Ibnu Khaldun dalam magnum opus-nya kitab al-Mukaddimah, ia mengungkapkan bahwa, "al-insanu madaniyyun bi al-thab'i", yang berarti setiap manusia pasti membutuhkan manusia yang lain. Oleh karena itu, sifat ramah, empati, dan peduli terhadap sesama menjadi karakter yang dibangun oleh masyarakat Tunisia. Mereka memandang sesama manusia dengan semangat persamaan derajat. 


Pemikiran sosiolog dunia dan sejarawan abad ke-14 ini menjadi prinsip utama yang dipegang teguh oleh masyarakat Tunisia. Bahkan, ungkapan Ibnu Khaldun di atas pun tertulis dengan jelas di bawah patungnya yang berada di Jalan Habib Bourguiba, di pusat kota Tunis sehingga warga Tunisia yang melewatinya pasti membaca ungkapan tersebut agar mereka dapat menanamkan dan senantiasa menebar kasih sayang terhadap sesama di setiap harinya. 


Sejak 14 abad lalu, Islam telah menyampaikan ajaran cinta terhadap sesama melalui Nabi Muhammad Saw. Persaudaraan kaum Muhajirin dan Ansar serta isi Piagam Madinah yang melindungi hak-hak asasi manusia menjadi bukti betapa kemanusiaan merupakan nilai utama yang harus dijunjung tinggi. 


Nabi Muhammad Saw. bersabda, "Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan tidak akan sempurna iman kalian hingga kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kalian pada sesuatu yang jika kalian lakukan, maka kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian." (HR. Muslim) 


Hadits ini memberikan pesan dan pelajaran agar kita dapat berperan aktif dalam menebar cinta, kasih sayang, dan perdamaian. Jika tidak, kita pun dapat berperan secara pasif dengan tidak menebar kebencian, mencela, menghina, atau bahkan merendahkan sesama manusia. Karena hakikatnya, weltanschauung dari "salam" bukan hanya ucapan salam yang harus kita tebarkan saja, melainkan lebih dari itu, yaitu agar kita dapat menjadi agen perdamaian (agent of peace) di muka bumi ini. 


Sebab itu, seyogianya kita berperan aktif dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, baik di level nasional atau bahkan di level global. Dalam hal ini, kita juga bisa belajar dari Bung Karno, KH. Hasyim Asy'ari, dan KH. Ahmad Dahlan. Mereka adalah tokoh-tokoh bangsa yang senantiasa merajut tenun kebangsaan dan berdiri paling depan dalam menjaga persaudaraan antar sesama manusia. 


Maka, berangkat dari nilai-nilai kebaikan dan keramahtamahan masyarakat Tunisia di atas, kita dapat menjaga dan senantiasa menghidupkan budaya ramah yang menjadi jati diri orang Indonesia. Pada saat yang sama, kita pun harus berperan aktif dalam menjunjung tinggi prinsip kemanusiaan secara universal agar peradaban manusia di muka bumi ini dapat tumbuh secara damai dan harmonis.


Nata Sutisna, mahasiswa Universitas Az-Zitunah, Tunisia.