Opini

Idul Fitri ala Markesot: Menggarap Statistik Dosa dan Pahala

Sen, 2 Mei 2022 | 09:00 WIB

Idul Fitri ala Markesot: Menggarap Statistik Dosa dan Pahala

Ilustrasi. (Foto: NU Online)

Banyak orang yang menjadikan Idul Fitri sebagai momentum untuk pesta pora, merayakan kebebasan setelah sebulan penuh mengekang diri. Pada Idul Fitri, segala pengekangan itu dilepaskan begitu saja dan merasa diri bebas melakukan apa saja. Makan segala macam hidangan yang demikian mewah. Semuanya dipuas-puaskan.


Namun, hal sebaliknya justru ditunjukkan Markesot, tokoh fiktif yang ditunjukkan Budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam banyak esainya. Sementara orang lain sedemikian mewah menikmati idul fitri dengan makan dan minum yang serba wah, Markesot sebagaimana diceritakan Cak Nun dalam Markesot Bertutur Lagi (Februari 2013) justru mengurung diri di balik pintu kamarnya yang dikunci.


Baginya, Idul Fitri merupakan puncak dari proses panjang selama bulan Ramadhan. Puncaknya itu diisi dengan lembur menggarap statistik. Begitu ia menjawab pertanyaan tetangga yang penasaran mengenai alasan mengapa ia mengunci diri di hari Raya Idul Fitri. Bukan sembarang statistik yang ia garap.


“Iya. Statistik dosa dan pahala saya, baik dan buruk saya, benar dan salah saya...,” begitu ia meneruskan jawabannya.


Artinya, idul fitri merupakan momentum penting untuk bermuhasabah pada diri sendiri. Hasibu anfusakum, qabla an tuhasabu, nilailah diri sendiri sebelum kau dinilai. Begitu Sayyidina Umar bin Khattab al-Faruq menegaskan.


Hal tersebut dilakukan agar kualitas diri dapat terpantau sehingga perbaikan-perbaikan di masa yang akan datang selepas Ramadhan dapat terus dijaga.


Selama ini, kita disibukkan diri untuk menilai orang lain begini, orang lain begitu, dan seterusnya. Namun, kita kerap lupa untuk melihat diri sendiri yang berlumur kesalahan. Bahkan Idul Fitri juga dijadikan momentum untuk foya-foya, memuaskan diri sendiri setelah sebulan penuh tidak diperbolehkan makan di pagi siang hari. Esensi Ramadhan itu hilang begitu saja.


Padahal, Allah swt menegaskan dalam Al-Qur'an surat Al-Hasyr ayat 18 berikut.


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ


Artinya, "Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan."


Ayat di atas juga mengingatkan kita untuk introspeksi, mengukur diri sendiri sudah sejauh mana dalam menjalani kehidupan ini, khususnya dalam menjalankan perintah Allah swt dan menjauhi segala larangan-Nya.


Sebagaimana disebut dalam Tafsir Fathur Rahman, bahwa maksud dari memperhatikan apa yang telah diperbuat dalam ayat tersebut adalah amal, sedangkan hari esok yang dimaksud adalah hari kiamat. Namun, dalam Tafsir Al-Bahrul Muhith, hari esok yang dimaksud adalah hari kematian.


Hal demikian ini juga sejalan dengan pepatah, bekerjalah untuk duniamu seakan kamu hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seakan kamu mati esok.


Hal tersebut menunjukkan bahwa kita harus mempersiapkan bekal sebanyak mungkin berupa amal baik untuk kehidupan yang hakiki kelak setelah kita meninggal, yakni kehidupan akhirat yang kekal.


Markesot tentu tidak lupa akan kewajibannya sebagai manusia dengan manusia lainnya pada Idul Fitri itu. Di hari kedua bulan Syawal, ia keluar dan menyalami orang-orang sekitarnya untuk memohon dan memberi maaf sebagaimana lazimnya masyarakat kala Idul Fitri.

 

Sebab, sebagaimana diketahui bersama, hak manusia dengan Allah swt telah diampuni sehingga manusia dianggap sebagai bayi yang baru lahir karena tidak ada dosa sedikit pun, telah dihapus. Idul Fitri sebagaimana maknanya, kembali kepada kesucian diri.


Namun, meskipun demikian, hak antarsesama manusia tidak hilang begitu saja. Karenanya, di hari Idul Fitri, manusia yang saling mengenal dianjurkan untuk saling memohon dan memberi maaf agar fitri atau suci diri itu betul-betul terjaga.


Oleh karena itu, mari kita menggarap statistik dosa, pahala, benar, dan salah kita sebagai bagian dari introspeksi diri. Tapi tidak berhenti di situ, kita harus evaluasi dan mulai kembali menata diri agar kehidupan setelah Ramadhan ini berjalan lebih dan semakin baik. (Syakir NF)