Opini

Membersamai Guruku, KH Afifuddin Muhajir

Ahad, 14 Februari 2021 | 14:15 WIB

Membersamai Guruku, KH Afifuddin Muhajir

KH Abdul Moqsith Ghazali dan gurunya, KH Afifuddin Muhajir. (Foto: dok. istimewa)

Oleh KH Abdul Moqsith Ghazali


Tubuhnya kecil, berkulit kuning langsat. Tatapan matanya tajam. Berpenampilan sederhana. Suaranya lembut dan timbrenya tipis. Terkesan hemat bicara. Intonasinya datar, tidak ekspresif. Praktis tanpa gestekulasi yang memadai. Lebih banyak mendengarkan lawan bicara sehingga tampak kurang assertive. Namun, ketika ia tampil sebagai pembicara di forum-forum seminar, audiens tak bisa mengabaikannya. Ia terlihat powerfull. Di balik tubuhnya yang “ringkih”, tersimpan energi intelektual luar biasa. Itulah KH Afifuddin Muhajir, Wakil Pengasuh Pesantren Sukorejo Asembagus Situbondo Jawa Timur yang sekarang menjadi Rais Syuriyah PBNU dan Ketua MUI Pusat.


Saya berjumpa dengan banyak orang yang mengakui kedalaman ilmu dan keluasan wawasan Kiai Afif. Bahkan, jauh sebelum saya belajar kitab kuning kepada Kiai Afif (begitu ia biasa disapa sekarang), saya sudah mencium keharuman namanya dari alumni pesantren Sukorejo yang mengajar di pesantren kepunyaan orang tua saya. Mereka berkata bahwa Kiai Afif (saya dulu memanggilnya "Ustad Khofi") mendapatkan ilmu laduni, yaitu ilmu yang dikaruniakan langsung oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tak terkecuali ayah saya (KH Ghazali Ahmadi) dan paman saya (Alm. KH Qasdussabil Syakur) yang keduanya pernah mengajar Kiai Afif di pesantren Sukorejo mengakui kealiman Kiai Afif. Sekiranya ayah saya mengajar Kitab Fathul Wahhab, maka paman saya mengajar kitab Lubbul Ushul.


Karuan saja, ketika saya dikirim orang tua untuk belajar di Pesantren Sukorejo, Kiai Afif adalah orang pertama yang saya “buru”. Saat itu ia sudah menjadi ustadz dan belum menikah. Ia tinggal di sebuah kamar-asrama yang tak jauh dari kamar-asrama saya. Setiap hari saya bisa melihat sosoknya. Kiai Afif yang ketika berjalan selalu menunduk-menatap tanah itu mungkin tak menyadari bahwa ada banyak santri seperti saya yang selalu memerhatikannya.


Sambil beradaptasi dengan lingkungan sosial baru di pesantren, saya coba mendengarkan presentasinya di forum bahtsul masail dan kemudian mengikuti pengajiannya. Biasanya bahkan hingga sekarang Kiai Afif mengajar kitab secara bandongan di sebuah mushala depan kediaman KH As’ad Syamsul Arifin. Kitab yang dibacanya adalah kitab-kitab marhalah 'ulya seperti al-Iqna', Fathul Mu'in, Fathul Wahhab, Ghayatul Wushul, dan lain-lain.

 

Saya yang sudah dibekali ilmu-ilmu dasar keislaman oleh orang tua tak merasa terlalu sulit untuk mengikuti pengajian Kiai Afif. Saya hanya terpukau pada kefasihan dan kepiawaiannya dalam menerjemahkan dan mengulas kitab kuning. Kiai Afif coba mengartikan kitab kuning dengan bahasa-bahasa akademik-ilmiah. Sambil mengaji, saya kerap mendengar darinya istilah-istilah seperti “argumen”, “aksioma”, “tekstual”, “kontekstual”, dan lain-lain. Itu salah satu kelebihan Kiai Afif dibanding para ustad lain ketika itu.


Setelah Kiai Afif banyak beraktivitas di luar terutama sejak menjabat Katib Syuriyah PBNU, publik Islam mulai mengetahui kealiman Kiai Afif di bidang ushul fiqih. Tak sedikit dari mereka yang bertanya, di mana Kiai Afif belajar ushul fiqih? Saya tak segera menemukan jawabannya. Ini karena Sukorejo sendiri, tempat Kiai Afif belajar, tak dikenal sebagai pesantren ushul fiqih. Sukorejo lebih banyak berkonsentrasi pada pengajian ilmu fikih dan nahwu-sharaf. Sekalipun ada pengajian ushul fiqih, durasinya cukup kecil jika dibandingkan dengan bidang-bidang lain.


Sukorejo pun saat itu tak banyak mengoleksi buku-buku ushul fiqih dari lintas mazhab. Dengan kondisi ini, agak susah membayangkan lahirnya seorang pakar ushul fiqih dari Sukorejo. Kiai Afif tak pernah belajar di luar, baik di Timur apalagi di Barat. Seluruh jenjang studinya, mulai dari Madrasah Ibtida’iyyah hingga strata satu, diselesaikan di Sukorejo. Ketika saya tanya, “Kepada siapa Kiai Afif belajar ushul fiqih?” Ia menjawab, “Saya pernah mengaji kitab Lubbul Ushul pada KH Qasdussabil.


Selebihnya saya belajar sendiri”. Ini menunjukkan bahwa kealimannya di bidang ushul fiqih ditempuh melalui kerja keras dan ketekunan. Peran Kiai Qasdussabil adalah mengajarkan teks utama ushul fiqih, Lubbul Ushul kepada Kiai Afif. Tapi, pendalamannya dilakukan secara otodidak.


Dengan perkataan lain, ia memperluas sendiri bacaan ushul fiqhnya, dengan melahap ar-Risalah karya Imam Syafi'i, al-Mustashfa min `Ilmil Ushul karya al-Ghazali, al-Muwafaqat fi ushulis Syari’ah karya as-Syathibi, al-Ihkam fi Ushulil Ahkam karya al-Amidi. Namun, dalam amatan saya, kitab ushul fiqh yang paling disukai sekaligus dikuasainya tampaknya adalah Jam’ul Jawami’ karya Tajuddin as-Subki itu. Baru pada perkembangan berikutnya Kiai Afif melengkapi diri dengan referensi ushul fiqih modern.


Kiai Afif membaca buku-buku ushul fiqh mulai dari karya Abdul Wahhab Khallaf, Abu Zahrah, Muhammad Khudhori Bik, Wahbah az-Zuhaili hingga merambah pada buku-buku karya 'Allal al-Fasi, Ahmad ar-Raysuni, dan Jasir Audah yang banyak mempercakapkan soal maqashid al-syari’ah dan fiqhul maqashid.


Dengan penguasaan yang komprehensif atas literatur-literatur itu, Kiai Afif makin kukuh sebagai seorang faqih dan ushuli. Dan kedudukannya sebagai ahli fiqh telah dibuktikan Kiai Afif dengan menulis buku fiqh berbahasa Arab dengan judul Fathul Mujibil Qarib, syarah terhadap kitab at-Taqrib karya Abu Syuja’ al-Isfahani. Di bidang ushul fikih, keahlian Kiai Afif memang tak terbantahkan. Puluhan makalah terkait metode istinbathul ahkam telah selesai ditulisnya. Ia menulis buku dengan judul as-Syari’ah al-Islamiyah baynats Tsabat wal Murunah.


Menarik, Kiai Afif menjadikan ushul fiqh sebagai sebuah perspektif untuk merespons persoalan-persoalan keislaman kontemporer. Ia berbicara tentang negara Pancasila, Islam Nusantara, hak-hak penyandang disabilitas, redistribusi lahan, ujaran kebencian, dan lain-lain dari sudut pandang ushul fiqh. Ia juga menjadikan ushul fiqh sebagai perangkat metodologis untuk mendinamisasi fikih Islam. Untuk kepentingan dinamisasi pemikiran Islam itu Kiai Afif intens berdiskusi dengan para pemikir gaek lain di NU seperti KH Masdar Farid Mas’udi, KH Abdul Malik Madani, KH Said Aqil Siroj, KH Husein Muhammad, dan lain-lain.


Di tangan orang-orang seperti Kiai Afif ini, ushul fiqh adalah sumur yang airnya tak pernah kering untuk ditimba. Jika ada yang mengkhawatirkan bahwa sepeninggal Kiai Sahal Mahfudz NU akan dilanda kelangkaan ahli ushul fiqh, maka fenomena Kiai Afif ini akan menampik kekhawatiran itu. Tentu Kiai Afif tak sendirian. Ada banyak kiai dan intelektual muda NU lain yang memiliki penguasaan memadai tentang ushul fiqh. Hanya yang kita “tagih” dari orang-orang seperti Kiai Afif adalah konsistensinya untuk terus menulis dan berkarya. Mengikuti sunnah Kiai Sahal Mahfudz yang banyak menulis buku seperti membuat syarah terhadap al-Luma’ dan Ghayatul Wushul, saya berharap Kiai Afif juga mau menulis banyak buku termasuk membuat syarah terhadap kitab-kitab ushul fikih lain seperti Jam’ul Jawami yang dikenal sangat susah dipahami itu.


Kiai Bahtsul Masail


Di samping istiqomah memberi pengajian kitab dan menulis sejumlah buku dan makalah, Kiai Afif juga orang yang suka menguji argumen dan pemikirannya melalui berbagai forum terutama forum bahtsul masail (BM) baik bahtsul masail di internal Pesantren Sukorejo maupun bahtsul masail di luar mulai dari tingkat PCNU hingga PBNU, baik BM dalam acara Munas NU maupun Muktamar NU.


Saya ikut menyaksikan dan membersamai beliau dalam forum-forum BM tersebut, mulai dari BM Sukorejo dulu hingga BM lima tahun terakhir di NU. Dalam ingatan saya, kematangan intelektualitas Kiai Afif justru sangat dominan terbentuk melalui forum-forum bahtsul masail terutama bahtsul masail yang diselenggarakan di luar Pesantren Sukorejo. Sekiranya di forum bahtsul masail internal Pesantren Sukorejo rumusan-rumusan fiqh Kiai Afif cenderung diterima tanpa bantahan-sanggahan, maka tidak demikian halnya dengan bahtsul masail di luar Pesantren Sukorejo.


Jika di Pesantren Sukorejo tak ada pihak yang meng-oposisi pemikiran Kiai Afif secara signifikan, maka dalam serangkaian BM NU Kiai Afif harus beradu argumen dengan para kiai lain dari pesantren lain. Dalam forum BM, pandangan-pandangan Kiai Afif diuji dalam debat-debat bermutu tinggi, karena dipersoalkan dari berbagai sisi baik dari sisi koherensi dan konsistensi intelektualnya maupun dari sisi relevansi sosialnya dalam menyelesaikan problem keumatan dan kebangsaan. Tes intelektual itu diperlukan untuk mengetahui, meminjam bahasa Ignas Kleden, seberapa jauh sebuah pemikiran benar atau dapat dibenarkan. Di forum BM itulah, Kiai Afif mendapatkan kritik keras, pendapatnya dibantah dan disanggah.


Namun, di forum BM pula, Kiai Afif mendapatkan apresiasi dari lawan debatnya. Kiai Afif sering memberi jalan keluar ketika forum BM terkurung dalam rimba teks (‘ibarat al-kutub). Satu teks fiqh dalam satu kitab bertabrakan dengan teks fiqh lain dalam kitab lain (ta’arudh bayna al-‘ibarat). Bahkan, tak hanya terjadi ta’arudh bayna al-‘ibarat melainkan juga ta’arudh bayna al-adillah atau ta’arudh bayna al-nushush. Ketika forum BM mendekati titik deadlock (tawaqquf), Kiai Afif dengan keterampilan metodologi ushul fiqhnya biasanya membantu memberikan solusi dengan cara al-jam’u wa al-taufiq, taqrir, tarjih bahkan ilhaq dan qiyas.


Sepanjang 2015-2020, saya menyaksikan keterlibatan intens Kiai Afif dalam perumusan soal-soal metodologi dan jawaban atas masalah-masalah urgen di NU. Pada Muktamar NU ke 33 di Jombang tahun 2015, Kiai Afif berhasil menjadikan naskah Metode Istinbath Jama’i a la NU yang secara keseluruhan dipersiapkan Kiai Afif itu menjadi rumusan resmi muktamar NU. Naskah yang dibuat Kiai Afif tak banyak perubahan kecuali ada sedikit tambahan berdasarkan masukan yang diberikan salah satunya oleh KH Ma’ruf Amin yang hadir dalam forum BM saat itu.


Tentu rumusan Metode Istinbath tersebut tidak serta merta diterima oleh para peserta BM. Pembahasannya cukup alot dan panas. Resistensi datang dari segala penjuru mata angin. Saya yang saat itu dipercaya menjadi pemimpin Sidang Komisi Bahtsul Masa’il Maudhu’iyyah agak kesulitan mengatur lalu lintas percakapan karena sanggahan datang bertubi-tubi.

 

Namun, sidang komisi BM Maudhu’iyyah dengan materi Metode Istinbath Jama’i yang saya buka jam 8.30 WIB pada akhirnya bisa disepakati dan palu diketuk pada jam jam 12.00 WIB. Artinya, kita membutuhkan waktu tiga jam setengah untuk satu materi itu. Dan rumusan itu kemudian saya bacakan dalam Sidang Pleno dan akhirnya menjadi salah satu keputusan Muktamar NU ke 33 di Jombang.


Tampaknya itulah BM Muktamar paling panas yang pernah saya ikuti. Dan dalam beberapa kali BM NU berikutnya suasananya sudah tak sepanas BM pada Muktamar Jombang itu. Misalnya ketika NU hendak merumuskan metode Taqrir Jama’i dan mekanisme Ilhaq Jama’i dalam Munas NU tahun 2017 di NTB. Pada mulanya saya yang mempersiapkan naskahnya dan selanjutnya disempurnakan oleh Kiai Afif. Naskah itu kemudian dibawa ke forum BM Munas NTB. Dan Alhamdulillah baik dalam Sidang Komisi maupun Sidang Pleno, naskah itu berjalan mulus.


Rumusan Metode Istinbath Jama’i, Taqrir Jama’i, dan Ilhaq Jama’i di atas sesungguhnya merupakan syarah (elaborasi panjang) dari matn (penjelasan singkat) Keputusan Munas NU di Bandar Lampung tahun 1992. Di Munas Lampung itu disepakti bahwa Taqrir Jama’i bisa menjadi jalan keluar untuk memecahkan masalah-masalah fiqh. Bahkan, dalam kasus fiqh baru yang tak ditemukan jawabannya dalam kitab-kitab fiqh muktabarah, NU tak ragu menggunakan ilhaq al-masa’il bi nazha’iriha dan istinbath secara jama’i.


Tuntutasnya pembuatan syarah metodologi pengambilan keputusan hukum di lingkungan NU itu saya kira tak bisa dipisahkan dari kontribusi Kiai Afif. Tak hanya melunasi “tagihan” syarah metodologi Keputusan Munas NU di Bandar Lampung, Kiai Afif juga terlibat aktif dalam perumusan soal-soal fiqh penting lain di NU. Misalnya, Kiai Afif menjadi perumus BM NU dalam soal redistribusi lahan, hak-hak kaum difabel dalam Munas Alim Ulama NU di NTB tahun 2017, soal Islam Nusantara, soal relasi Muslim-Non Muslim dalam konteks negara bangsa Indonesia pada Munas Alim Ulama NU di Banjar Jawa Barat tahun 2019.


Proses perumusan soal non-Muslim dalam konteks negara bangsa itu sempat kontroversial di ruang publik. Kontroversial terjadi karena hasil Munas Banjar tersebut disalahpahami oleh sejumlah 'alim yang hanya membaca hasil liputan wartawan di media massa. Padahal kita tahu bahwa tak semua wartawan bisa menjangkau argumen-argumen teknis akademis di dalam narasi fikih dan ushul fikih. Akhirnya sebagian dari mereka menyimpulkan bahwa NU akan membuang nomenklatur kafir dalam al-Qur’an, Hadits, dan turats. Sebuah tuduhan yang sangat keras.


Sesungguhnya yang diperbincangkan para kiai dalam dalam forum bahtsul masail tersebut adalah soal mu’amalah antara muslim dan non-muslim dalam konteks Indonesia bukan soal aqidah. Tentang pokok soal itu, forum menyepakati bahwa non-muslim di Indonesia tak memenuhi kualifikasi kafir dzimmi, kafir mu’ahad, kafir musta’man, dan kafir harbi.

 

Para pelajar Islam pasti tahu bahwa empat kategori kafir tersebut bukan kategori teologis (diniyyah-‘aqaidiyyah) melainkan kategori sosiologis-politik (ijtima’iyyah-siyasiyah) menyangkut relasi muslim dan non-muslim. Dan perlu dieksplisitkan bahwa empat kategori kafir secara sosiologis-politis itu tak ditolak oleh forum bahtsul masail, melainkan tak bisa diterapkan dalam konteks non-muslim di Indonesia. Dengan ini, perbincangan forum sebenarnya berada di tataran tahqiq al-manath bukan takhrijul manath.


‘Ala kulli hal, saya berharap Kiai Afif tetap sehat dan terus mengedukasi untuk izzu NU wa al-nahdhiyyin, izzul Islam wal muslimin, izzu Indonesia wal indunisiyyin.


Penulis adalah Wakil Ketua LBM PBNU, Alumnus Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo


*) Tulisan ini pertama kali dimuat NU Online pada 25 Juli 2015 dengan judul "Guruku, KH Afifuddin Muhajir". Untuk kepentingan tulisan ini, beberapa bagian coba dipertajam dan ditambahkan informasi, misalnya keterlibatan Kiai Afif dalam forum-forum Bahtsul Masail.