Opini

Menjadi Generasi Milenial yang Cerdas

Ahad, 13 Oktober 2019 | 23:00 WIB

Menjadi Generasi Milenial yang Cerdas

Ilustrasi media sosial. (NU Online)

Oleh Fathoni Ahmad

Tradisi literasi sudah berkembang jauh sebelum era milenial hadir di tengah-tengah pesatnya perkembangan teknologi digital dan media sosial. Hal itu terbukti dengan melimpahnya karya-karya ulama dan tokoh-tokoh Nusantara. Tradisi literasi lahir dari nalar ilmiah, tidak sembarang mengambil kesimpulan tanpa verifikasi dan kritik sumber, serta berbasis metodologi dan pembacaan mendalam.

Spirit tradisi literasi di atas penting diperhatikan oleh generasi milienial yang lebih banyak mengonsumsi berita dan informasi via jaringan online dan media sosial. Tabayun, itulah tradisi lain yang perlu dibawa sehingga seseorang tidak terjebak dengan berita atau informasi, gambar, video yang belum tentu kebenarannya. Literasi yang baik dengan proses tabayun merupakan upaya agar seseorang bisa memelihara akal sehatnya. Karena konsumsi informasi yang tidak benar akan mendestruksi (merusak) akal sehat sehingga yang tertanam adalah kebencian belaka.

Spirit literasi digital dengan proses tabayun yang kuat adalah salah satu langkah yang harus dilakukan karena tidak sedikit informasi palsu (hoaks) atau berita bohong (fake news) yang kerap mempengaruhi seseorang sehingga berdampak pada tatanan sosial yang terganggu, menimbulkan keresahan, dan perpecahan antar-elemen bangsa.

Atas sedikit banyak dampak yang ditimbulkan dari era digital ini, sejumlah elemen bangsa sadar akan tantangan hebat yang bakal dihadapi oleh generasi Indonesia ke depan. Sebelum menginjak ke berbagai tantangan yang lebih serius, kelompok yang sadar akan keberlangsungan Indonesia terus berupaya membekali anak-anak yang disebut generasi milenial ini untuk memperkuat literasi digital.

Generasi milenial disebut juga Generasi Z. Merujuk pada abjad huruf, Z merupakan huruf terakhir sehingga bisa dikatakan bahwa generasi milenial merupakan generasi terakhir dengan perkembangan teknologi yang luar biasa. Dalam klasifikasi generasi era digital, generasi ini disebut native digital, generasi yang lahir ketika era digital telah berkembang pesat.

Adapun generasi satunya disebut digital immigrant. Generasi ini lahir ketika terjadi proses transformasi digital. Lahir ketika era internet belum berkembang pesat bahkan belum ada perkembangan internet, kemudian saat ini dihadapkan pada era di mana generasi asli digital atau native digital juga menghadapinya.

Kelompok digital immigrant inilah yang sadar akan tantangan perkembangan digital bagi masa depan bangsa dan generasi mudanya sehingga terus mendorong literasi digital agar generasi Z tidak terlalu terbius dengan virus digital dan segala sesuatu yang mengiringinya. Namun, kelompok digital immigrant juga tidak sedikit yang terpengaruh dengan gaya kehidupan generasi milenial.

Langkah pencerdasan generasi milenial perlu mendapat panduan dari generasi-generasi sebelumnya yang justru lebih dahulu memahami dinamika yang berkembang dalam dunia teknologi informasi. Bahkan dari pemahaman tersebut, pola prediksi perkembangan teknologi selanjutnya bisa dilakukan. Langkah pencerdasan ini bisa dimulai dengan memberikan pemahaman melalui penulisan buku terkait literasi digital dan perkembangannya.

Generasi milenial tetap bisa belajar dari pendiri Facebook Mark Zuckerberg; pendiri Google Lary Page dan Sergey Brin; pendiri Twitter Evan Williams, Jack Dorsey, Christoper Biz Stone, dan Noah Glass; dan pendiri Alibaba Jack Ma. Mereka menghiasi dunia digital dengan berbagai platform yang bisa digunakan oleh generasi milenial untuk berinteraksi dengan sesamanya, baik untuk kebutuhan sosial, bisnis, pendidikan, dan lainnya.

Poin penting dari para pendiri kerajaan digital tersebut ialah komitmen yang kuat dalam melakukan inovasi berdasarkan kebutuhan-kebutuhan manusia zaman modern sehingga memberikan gambaran jelas terkait karakteristik generasi milenial. Perkembangan era digital satu sisi bisa memperkuat bangunan kemanusiaan sebuah bangsa, tetapi di sisi lain juga dengan mudahnya masyarakat terpengaruh arus informasi yang beredar sehingga potensi perpecahan juga mudah tersulut.

Di tengah arus media digital yang demikian masif, Hasan Chabibie (2017) menjelaskan, kebinekaan yang menjadi identitas warga Indonesia mendapat ancaman (tantangan, red) serius. Ancaman itu berupa meningkatnya eskalasi kebencian dan provokasi yang disebarkan secara massif melalui media sosial. Revolusi teknologi dan mudahnya akses media sosial ternyata menyimpan ruang gelap berupa kebencian dan isu-isu negatif yang dihembuskan kelompok radikal.

Kelompok radikal tidak terlepas dari kelompok konservatif yang menghembuskan isu-isu keagamaan untuk kepentingan politik kekuasaan. Namun sebelumnya, kelompok ini sudah beredar di Indonesia dengan upaya meresahkan masyarakat dengan dalil-dalil keagamaan yang cenderung menyerang tradisi keagamaan masyarakat Indonesia.

Kini ruang mereka lebih luas di era perkembangan digital dengan merambah dakwah di media sosial untuk mempengaruhi masyarakat secara luas dengan pemikiran-pemikiran radikal dan dalil-dalil keagamaan yang konservatif. Di sinilah tantangan besar generasi milenial agar lebih cerdas dalam memilah dan memilih informasi yang harus diikuti atau dikonfirmasi kebenarannya (tabayun).

Era digital ini tidak memungkiri bahwa yang selama ini berkembang justru wacana-wacana keagamaan kontraproduktif, karena agama yang seharusnya bisa memperkuat persaudaraan (ukhuwah) berbagai elemen bangsa justru menjadi pemicu perpecahan di antara anak bangsa. 

Sehingga tidak heran ketika KH Ahmad Ishomuddin (2017) mengatakan, generasi saat ini mempunyai semangat belajar keagamaan yang tinggi, tetapi tidak diimbangi dengan kemampuan memahami agama itu sendiri. Sebab itu, belajar kepada guru, ustadz, dan kiai yang tepat mempunyai peran yang sangat penting untuk mendukung gagasan literasi digital.

Dunia pendidikan merupakan elemen penting bangsa dan negara yang turut terkena dampak (impact) perkembangan digital. Dampak positif banyak dihasilkan seperti media pembelajaran dan akses komunikasi serta informasi yang semakin mudah. Namun sejurus itu, dampak negatif juga terus membayangi seperti banyaknya konten-konten bersifat merusak, krisis interaksi sebab ketagihan gadget, dan lain sebagainya.

Namun demikian, betapa perkembangan digital ini mampu menjangkau luas berbagai elemen bangsa untuk mengakses pendidikan seluas-luasnya melalui inovasi pendidikan yang terwujud dalam berbagai platform aplikasi digital yang sangat bermanfaat.

Artinya, perkembangan digital dalam dunia pendidikan merupakan salah satu langkah mewujudkan gagasan literasi digital. Generasi milenial yang mempunyai karakter lebih dominan dalam mengakses informasi melalui internet ketimbang buku harus diimbangi dengan konten-konten dan aplikasi positif dalam dunia pendidikan.

Namun, di tengah perkembangannya, literasi digital ini juga harus menjadi media untuk anak bangsa bahwa belajar langsung kepada seorang guru yang tepat juga menjadi bekal dalam mengarungi dunia digital. Karena, bekal ini akan bermanfaat bagi generasi milenial untuk mengisi dunia maya dengan konten-konten positif dalam rangka membangun Indonesia yang kuat dan agama yang lebih ramah untuk kehidupan bersama.

Penulis adalah Redaktur NU Online 
-------------- 
Artikel ini diterbitkan kerja sama antara NU Online dengan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo