Opini

Peran Strategis Generasi Milenial di Dunia Maya

Sen, 21 Oktober 2019 | 08:00 WIB

Peran Strategis Generasi Milenial di Dunia Maya

Ilustrasi generasi milenial sedang bermain media sosial.

Oleh Fathoni Ahmad
 
Perkembangan teknologi informasi membawa kita pada peradaban media sosial yang kini begitu digandrungi masyarakat Indonesia, khususnya pelajar dan generasi milenial. Hal ini mengacu pada survei Alvara Research Center tahun 2019 yang mengungkapkan bahwa konsumsi internet milenial mencapai angka 94,4 persen. Betapa besarnya ketergantungan generasi milenial terhadap internet yang harus diiringi dengan pemahaman terhadap literasi digital sehingga tidak termakan hoaks.

Generasi milenial merupakan elemen masyarakat yang paling banyak menggunakan media sosial, baik Facebook, Twitter, Instagram, YouTube, dan lain-lain. Konten-konten atau isi yang beredar di media sosial baik berupa berita, foto, dan status tidak ada yang mampu menyaring selain diri sendiri. Dengan ketergantungan sangat tinggi terhadap internet, semestinya generasi milenial bisa mengambil peran untuk menjadi duta-duta damai di dunia maya.

Penyaringan ini dilakukan karena isi postingan di media sosial tidak semuanya positif, bahkan mempunyai kecenderungan negatif dengan melimpahnya berita dan foto-foto palsu atau hoaks. Bahkan, caci maki dan fitnah dari satu orang ke orang lain merupakan pemandangan sehari-hari yang kita temui di media sosial. Padahal, secara tegas Islam sendiri melarang kepada umatnya untuk melakukan caci maki dan fitnah.

Sikap santun dalam berdialog, lemah lembut dalam berbicara, halus dalam penyampaian pesan, merupakan jalan tengah yang membuat orang lain simpati apalagi kita sebagai seorang pelajar yang tentu memiliki predikat sebagai orang terpelajar. Karena hati yang bercerai berai dan pendapat yang berbeda dapat terangkul dengan harmonis walaupun beda keyakinan, dan lain-lain.

Allah SWT berpesan kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ’alaihimassalam: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia menjadi sadar atau takut.” (QS. Thaha [20]: 44)

Ibnu Katsir dalam tafsirnya ketika mengomentari ayat ini berkata: “Ada pelajaran sangat berharga yang dapat dipetik dari ayat di atas, yaitu bahwa Fir’aun yang terkenal keangkuhan dan arogansinya, sementara Musa –alaihissalam– sebaik-baik manusia pilihan Allah saat itu, namun demikian Allah memerintahkannya untuk tidak berbicara dengan Fir’aun kecuali dengan perkataan yang santun dan lemah lembut”.

Kata-kata cacian hanya mengundang malapetaka, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Cacian tidak akan menghadirkan kembali orang yang kabur dan tidak akan membuat simpati orang yang berkepala batu, justru hanya menanamkan rasa dendam di hati dan membuat orang yang berseberangan semakin nekad dan keras kepala. Bahkan, sudah banyak orang yang berurusan dengan polisi akibat memfitnah dan mencaci maki orang lain di media sosial.

Bila kita menghujani orang yang tidak sependapat dengan kita itu dengan makian, kecaman dan kutukan, maka apa yang kita lakukan itu akan semakin memperkeruh persoalan dan memperparah penyakit. Oleh karena itu, bila kita menyampaikan nasihat, sampaikanlah dengan cara yang tidak membuat orang lain kabur, dan bila kita berdebat, berdebatlah dengan cara yang santun tanpa merendahkan lawan bicara.

Fenomena Mencaci dan Menghujat 

Iman dan takwa bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Tidak ada orang yang bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa kecuali dia adalah orang yang beriman. Dan tidak ada orang yang benar-benar beriman, kecuali dia bertakwa; yakni menjaga diri dari dosa dan selalu berusaha menjalankan perintah-perintah-Nya, disertai dengan akhlak yang karimah.

Orang-orang yang bertakwa percaya kepada yang gaib. Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Allah, percaya bahwa surga dan neraka itu benar-benar ada, mereka juga percaya bahwa Allah menciptakan malaikat dan menurunkan kitab suci kepada beberapa nabi. Mereka percaya dengan hari akhir dan hisab. Dengan kepercayaan dan iman itu lalu mereka menjalani hidup di dunia sesuai dengan tuntunan dan ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dari Allah SWT.

Hamba Allah yang benar-benar beriman dan bertakwa itu mempunyai hati yang lembut, jiwa yang tenang dan perangai yang baik, ramah, dan penuh kasih sayang. Hal itu tercermin dalam tindakan dan ucapannya sehari-hari. Orang yang benar-benar beriman, atau mereka yang memiliki kualitas iman sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, tidak mungkin menjadi pribadi-pribadi yang tercela. 

Mereka tidak mungkin menjadi orang-orang yang mengajak manusia kepada kerusakan, hasut, kedengkian, dan kebencian. Orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya iman tidak mungkin menyebarkan fitnah atau tuduhan-tuduhan keji tanpa dasar kebenaran kepada siapapun. 

Mereka tidak mungkin mencaci dan melontarkan tuduhan keji hanya didasarkan pada su’udzon dan kebencian terhadap seseorang atau kelompok tertentu. Orang-orang yang melakukan kekejian seperti ini, bukanlah orang yang beriman dan bertakwa. Justru, mereka adalah para ahlul fitnah, atau pembuat kerusakan di muka bumi.

Rasulullah SAW mengajarkan umatnya bagaimana seharusnya menjadi seorang mukmin yang baik. Rukun iman memang hanya ada enam, tetapi kesempurnaan iman memerlukan perangkat-perangkat lain. Kepercayaan atau iman kita kepada enam hal yang diajarkan oleh Rasulullah itu bukan hanya sekadar percaya, melainkan harus ditindaklanjuti dengan menjalankan perintah-perintah Allah serta menjauhi larangan-larangan-Nya. 

Kemudian dilengkapi pula dengan akhlak atau tindak tanduk yang terpuji serta ucapan yang baik. Mencaci-maki, melaknat, memarahi orang menggunakan kata-kata kotor adalah perbuatan keji yang menjauhkan manusia dari iman. Karena hal-hal tersebut bukan merupakan ciri-ciri manusia yang beriman. Orang yang beriman akan memancarkan keindahan jiwa dan hatinya. Membuat orang di sekelilingnya merasa aman, tenteram, dan damai. 

Rasulullah SAW juga memberitahukan kepada umat Islam, bahwa caci maki atau laknat dari manusia kepada manusia lainnya merupakan sesuatu yang sangat berbahaya dan berat urusannya. Oleh karena itu, jika ada orang yang mencaci-maki dan melaknat orang, namun ternyata orang yang dilaknat itu adalah orang baik, maka laknat itu akan kembali kepada diri orang yang melaknat. Maka, berhati-hatilah mengoperasikan jari di media sosial dan dunia maya.

Penulis adalah Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta
 
-------------- 
Artikel ini diterbitkan kerja sama antara NU Online dengan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo