Opini

Sastra dan Teror Imajinasi 

Ahad, 20 Juni 2021 | 04:00 WIB

Sastra dan Teror Imajinasi 

Ilustrasi: Dalam pikiran manusia terdapat sirkuit yang membentuk jalur tetap, sehingga program diri seringkali dikuasai oleh "sang master" (autopilot). Akibatnya, sastrawan yang yang tak punya kemampuan berpikir analitis pun, bisa sampai ke tempat tujuan yang sama dengan yang kemarin ditempuh.

Oleh Supadilah Iskandar

"Teror yang dilakukan pemerintah Orde Baru terhadap bangsa ini adalah teror imajinasi, dan itulah sebenar-benarnya teror." (Pramoedya Ananta Toer)

 

Untuk mempelajari manusia masa kini yang disebut generasi post-modern, yang terpenting adalah mendalami unsur irasionalitas yang ada pada mereka, yakni dunia bawah sadar yang tak mampu mereka bahasakan, bahkan tak sanggup mereka kendalikan. Dunia bawah sadar itu tak lain dari citra-citra kemanusiaan yang bersifat naluriah hewani.

 

Terkait dengan ini, dunia sastra masa kini yang dihasilkan dari generasi milenial seperti Muhamad Pauji, Irawaty Nusa, Muckhlisin hingga Muakhor Zakaria, seakan secara serempak memandang jiwa manusia sebagai terra incognita, sebagai tanah tak bertuan yang mesti digarap. Bahkan dalam soal amal perbuatan dan pandangan religiositasnya sekalipun

 

Mereka seakan bertanya dengan memadukan kemampuan rasionalitasnya, di mana tanggung jawab moral dan peran agama, bila hanya beberapa suntikan bahan kimia, mampu membuat seorang religius menjadi kriminal, kemudian seorang preman urakan tiba-tiba menjadi taat dan saeh. Lalu, apa fungsi ketuhanan, dan segala anjuran dan perintah agama yang didakwahkan itu.

 

Di era pandemi corona ini, mari kita refresh pikiran kita pada upaya-upaya kesederhanaan hidup, kemandirian dan kerja-keras. Kita harus percaya  bahwa di masa-masa mendatang akan muncul karya-karya sastra luar biasa yang teguh memperjuangkan solidaritas dan kesetiakawanan sosial, meski semuanya itu tetap harus diperjuangkan oleh para sastrawan itu sendiri.

 

Mari kita perbanyak ilmu pengetahuan, berperan untuk ikut-serta menggugah dengan menyatakan kenyataan-kenyataan riil sambil berusaha menolak menipu rakyat. Hal ini boleh jadi kurang mendatangkan kepopuleran dalam waktu sekejap, tetapi tetap kita harus menyatakannya. Sebab, dalam penolakan terhadap 'perbudakan' yang terkandung dalam zaman ini, maka kita menemukan suatu harapan yang baik di masa yang akan datang.

 

Sebagai intelektual dan budayawan yang baik, tentu menyadari posisinya dirinya, bahwa mereka perlu memacu diri untuk berlomba dalam kebaikan dan kemaslahatan. Bukankah sebaik-baik manusia adalah mereka yang mampu memberi manfaat terbanyak bagi sebanyak-banyak manusia lain? Mari kita bersama-sama menggali untuk menemukan cara terbaik demi terciptanya hari esok yang damai, di saat dunia dan kreasinya membuat kita merasa bangga karena bisa sama-sama menyumbang untuk saling ikut-serta. Kita berseru kepada setiap pemikir dan intelektual agar dapat bekerjasama dan tidak cuma berlindung di balik kata-kata.

 

Saya kira, untuk Indonesia masa kini dan mendatang, gelagat sastra beraliran eksistensialisme sudah meredup. Ada baiknya jika sastrawan kita lebih mengacu pada sastrawan dalam dan luar negeri yang memiliki bobot religiusitas tinggi. Mereka senantiasa menggelorakan batin dan kalbu kita agar terus semangat dan optimistis. Dari karya-karya luar negeri kita mengenal Ignazio Silone (Pane e Vino), Ernst Barlach (Graf von Ratzeburg), Elizabeth Langgaesser (Das Unausloeschliche Siegel), Graham Greene (The Power and the Glory), Thornton Wilder (The Bridge of San Luis Ray), Bernanos (Journal dun Cure de Campagne), Pearl S. Buck (The Good Earth) hingga de Saint Exupery (Courier Sud, Le Prince). 

 

Karya-karya besar mereka tetap abadi, serta mampu menjelajahi relung-relung batin umat manusia, menemukan dunia baru yang penuh perubahan dan kejutan. Sehingga para generasi muda kita, khususnya, punya keberanian untuk belajar melihat berbagai perspektif, di samping dari karya-karya dalam negeri semisal M. Yamin, Abdul Kadir Munsyi, Ronggowarsito, hingga Pangeran Diponegoro.

 

Perlu juga dicatat mengenai pendidikan sastra kita, bahwa orang-orang tua yang memenuhi kebutuhan anak, serta membekali pendidikan sastra, baik di kampus maupun lembaga-lembaga sastra, bukan berarti mereka akan menjadi penulis handal yang tangguh dalam menghadapi tantangan zaman. Tak ada artinya menyandang gelar kesarjanaan berderet-deret, kalau seorang penulis penakut, cepat menyerah, angkuh, pendengki, bahkan reaktif menghadapi suatu problema hidup.

 

Saat ini, kita semua harus menyadari, ketika satu elemen berubah, semua kebiasaan, struktur, budaya kerja dan cara pengambilan keputusan ikut berubah dengan sendirinya. Kadang-kadang ada sastrawan senior yang memiliki sudut pandang yang dikira sudah final dan mentok. Ternyata, generasi baru banyak menawarkan paradigma tentang religiositas baru. Mereka lebih mahir melihat perspektif berkat kecakapan dan keterampilan yang dimiliki. Sebab, ketika mereka terjebak kemacetan, mereka akan pintar memutar haluan untuk mencari alternatif jalan baru. Mereka tak mau menyibukkan diri untuk mengutuk jalan buntu (dead end).

 

Tetapi, para sastrawan senior (status quo) yang terperangkap dalam kenyamanan biasanya takut mencari jalan-jalan baru, takut kesasar dan tersesat di jalan buntu. Sejak zaman Orde Baru, mereka senangnya mengutuk jalan buntu karena mereka seringkali kadung tersesat di sana. Tak terkecuali para akademisi dan pakar bahasa, bila kurang up to date sering melakukan hal-hal yang begitu-begitu juga.

 

Ketika seorang sastrawan mengkritik mitologi lama yang sudah usang, mereka seringkali terjebak pada mitologi baru, yang ujung-ujungnya berhadapan pula dengan jalan buntu. Mereka enggan mencari alternatif baru untuk menemukan jalan keluar. Mereka tak mau melihat wajah Indonesia dari beragam perspektif. Inginnya terpaku pada satu titik dan satu warna saja.

 

Kiranya perlu dicamkan bagi penulis senior yang pernah menjadi anak-anak emas dewa kemenangan (Orde Baru), bahwa dalam ilmu neurologi telah ditemukan penemuan terbaru mengenai ilmu otak. Ternyata, dalam pikiran manusia terdapat sirkuit yang membentuk jalur tetap, sehingga program diri seringkali dikuasai oleh 'sang master' (autopilot). Akibatnya, sastrawan yang yang tak punya kemampuan berpikir analitis pun, bisa sampai ke tempat tujuan yang sama dengan yang kemarin ditempuh. Dan, ketika orang Indonesia ingin keluar dari jalan buntu, ada semacam inersia yang menarik kembali pada jalur yang sudah ditetapkan oleh kekuatan 'sang master' tadi.

 

Nah, di sinilah perspektif baru tentang sastra Indonesia dimunculkan, agar nasib manusia tidak seperti burung elang atau burung garuda yang terbiasa 'dirantai' selama bertahun-tahun. Kemudian, ketika rantai itu dilepas, lagi-lagi ia berkuak-kuak ketakutan dalam menempuh hidup baru di alam merdeka, lantas minta dirantai kembali agar tetap menikmati kue serabi.

 

John Steinbeck, sastrawan Amerika Latin pernah menyatakan bahwa keajaiban jarang terjadi pada mereka yang jiwanya terbelenggu dan terjajah (the caged life). Keajaiban itu hanya ada di luar zona nyaman yang kita sebut sebagai zona berbahaya (danger zone). Dalam zona berbahaya itu, tentu saja ditemukan adanya zona ketakutan (panic zone) seperti dalam kasus pandemi Covid-19 saat ini. Tetapi, untuk menghindari ketakutan dan kepanikan itu, para eksplorator telah menunjukkan adanya 'zona antara', yakni zona mempelajari, memahami, mendalami (challenge zone), sampai pada akhirnya ditemukan jalan keluar yang menenteramkan, serta kaya akan ilmu dan wawasan.

 

Jadi, bukan seperti sastrawan lama yang terbelenggu secara imajinatif. Atau sengaja dibelenggu melalui teror imajinasi (1965) oleh penguasa Orde Baru, hingga berkesimpulan sebaiknya berkarya menafsirkan doktrin-doktrin penguasa saja. Dalam kaitan ini, Pramoedya Ananta Toer pernah menandaskan bahwa, "Teror yang dilakukan pemerintah Orde Baru terhadap bangsa ini adalah teror imajinasi, dan itulah sebenar-benarnya teror."

 

Karena itu, perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa sekolah pada lembaga formal (baik sastra maupun jurnalistik) akan menyesatkan apabila beranggapan, setelah memperoleh ijazah dan gelar, lalu pelajaran sudah tamat dan finish. Anggapan semacam ini akan memunculkan arogansi dan keangkuhan intelektual, bahwa "aku sudah bergelar". Bahkan, lebih parahnya ketika seorang penulis menyatakan, "Aku sudah membaca banyak karya sastra, karena itu aku sudah tahu segalanya."

 

Pada prinsipnya, sastrawan yang terbelenggu dalam mental keterjajahan (inlander) seperti itu, akan sulit menggeser pandangan-pandangan lamanya. Ia menjadi amat resisten, egois dan  angkuh, karena pembawaan sifat moderatnya sebagai sastrawan yang telanjur dipandang 'senior'. Sedangkan sastrawan yang bijak, ia tak ragu mengakui dirinya sebagai manusia pembelajar atau penuntut ilmu tiada batas. Karena itu, sebagai seorang penuntut ilmu, setiap karakteristik manusia dari etnik manapun akan dianggap sebagai 'ladang ilmu' yang semakin memperkaya wawasan demi melangkah ke masa depan.

 

Pada gilirannya, ia akan melahirkan karya sastra yang baik dan cemerlang, bukan sastra kaum pendendam dan tukang ribut, yang hanya ditujukan pada satu orang atau satu kelompok tertentu (prahara budaya usang). Tetapi, bagi proses pendewasaan serta upaya-upaya mencerdaskan kehidupan bangsa ini. 

 

Penulis adalah cerpenis dan peneliti sastra kontemporer Indonesia, menjadi pengajar sastra di pedalaman Banten Selatan.