Opini

Tari Topeng Cirebon: Kesenian yang Jadi Media Dakwah

Sel, 14 September 2021 | 03:30 WIB

Tari Topeng Cirebon: Kesenian yang Jadi Media Dakwah

Tari Topeng khas Cirebon. (Foto: Berita Cirebon)

Oleh Joko Susanto


Cirebon, salah satu daerah yang terletak di Jawa Barat ini terkenal akan kekayaan seni dan budaya serta sejarah yang luar biasa. Salah satu yang terkenal sampai ke kancah internasional ialah budaya Tari Topeng yang jadi media dakwah penyebaran Islam. Di era globalisasi saat ini, masyarakat mempunyai berbagai macam pilihan budaya baik itu lokal atau asing yang mereka konsumsi. Meskipun banyak budaya modern yang masuk ke Indonesia, kesenian tradisional tetap menjadi daya tarik tersendiri, salah satu yang eksis ialah Tari Topeng Cirebon. 


Seperti namanya, poin utama dalam tarian ini adalah penggunaan topeng yang menutup wajah si penari. Uniknya, gaya tari yang dilakukan para penari ini disesuaikan dengan jenis topeng yang mereka gunakan. Jenis topeng itu dibagi menjadi lima jenis yang disebut panca wanda atau lima rupa yang mewakili lima watak manusia. Panca wanda ini mencakup Tari Topeng Kelana, Tari Topeng Tumenggung, Tari Topeng Rumyang, Tari Topeng Samba, dan Tari Topeng Panji.


Selain topeng, para penari juga mengenakan perlengkapan lainnya, seperti pakaian lengan panjang dan dasi dengan peniti berbentuk uang zaman dulu yang disebut ukon. Penari juga menggunakan ikat pinggang yang dilengkapi keris, badong, gelang, dan kain batik.


Kostum penari topeng Cirebon memang terkesan berbeda dibandingkan penari tradisional yang cenderung berpakaian terbuka di bagian bahu. Ini terkait sejarah perkembangan Tari Topeng Cirebon yang dijadikan media penyebaran agama Islam.


Soal itu dijelaskan dalam Babad Cirebon Carang Satus yang ditulis Elang Yusuf Dendrabrata. Ia menyebut bahwa Tari Topeng Cirebon diciptakan dalam rangka penyebaran agama Islam. Awalnya, jenis tarian ini sudah ada di Jawa dan Bali namun eksistensinya turun setelah keruntuhan Majapahit.


Tari Topeng digunakan oleh Sunan Gunung Jati Sultan yang Berkuasa di Keraton Pakungwati sekarang dikenal Keraton Kasepuhan Cirebon pada tahun (1479-1568) dalam menghadapi ancaman Pangeran Welang dari Karawang yang memiliki pusaka Curug Sewu yang ingin menaklukkan Keraton Cirebon. Sunan Gunung Jati enggan melakukan perang dengan Pangeran Welang sehingga ia memilih jalan diplomasi melalui kesenian.


Melalui Tari Topeng itu, hadir penari sekaligus murid dari Sunan Gunung Jati bernama Nyi Mas Gandasari yang akhirnya memikat hati Pangeran Welang. Pangeran Welang ingin meminang Nyi Mas Gandasari namun dengan syarat ia harus menyerahkan pusaka Curug Sewu. Pangeran Welang pun menyanggupi dan akhirnya memeluk agama Islam.


Sejak saat itu, Tari Topeng Cirebon ini tumbuh subur di kalangan masyarakat Cirebon. Karena tujuannya untuk menyebarkan agama Islam, penari harus menggunakan busana yang menutup bagian dada dan punggung, serta mengenakan kaos kaki hingga lutut. Gerakannya pun sarat makna filosof keislaman tentang syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Selain itu, tari ini juga mengajak penontonnya untuk melakukan kebenaran, berzikir dan beristighfar.


Filosofi Tari Topeng Cirebon menggambarkan aspek kehidupan yang sangat luas, mencakup kepribadian, cinta, angkara murka, kepemimpinan, serta perjalanan hidup manusia dari lahir hingga dewasa.


Lima Jenis Tari Topeng Cirebon


Lima jenis Tari Topeng Cirebon menggambarkan filosofi yang berbeda-beda. Karakteristik dan makna masing-masing tari topeng tersebut adalah sebagai berikut:


Pertama, Tari Topeng Panji. Tari topeng yang satu ini menggambarkan kesucian bayi yang baru lahir. Motif topengnya polos dan berwarna putih bersih, hanya terdiri dari mata, hidung, dan mulut tanpa guratan apa pun. Sama seperti warna topengnya, kostum penari dan atribut lainnya juga bernuansa serba putih. Gerakan Tari Topeng Panji sangat sederhana, hanya berupa adeg-adeg (berdiri kokoh agar tak tergoyahkan) yang diiringi musik penuh dinamika.


Meskipun gerakannya monoton dan pelan, makna yang terkandung ternyata sangat dalam. Makna gerakan tersebut menggambarkan manusia suci yang tidak mudah terpengaruh hiruk-pikuk dunia yang menyebabkan perilaku negatif. Tari Topeng Panji biasanya dipentaskan dengan iringan lagu Kembang Sungsang.


Kedua, Tari Topeng Samba. Fase perkembangan biologis manusia memasuki masa kanak-kanak digambarkan melalui pertunjukan Tari Topeng Samba. Hal ini ditunjukkan oleh karakteristik topeng bernuansa putih dan merah jambu yang dilengkapi hiasan di bagian atas yang menyerupai rambut serta kostum tari berwarna hijau daun. Gerakan dalam tari topeng ini terkesan lucu, centil, kekanak-kanakan dan menggambarkan keceriaan khas anak-anak. Lagu yang sering digunakan untuk mengiringi Tari Topeng Samba adalah Kembang Kapas.


Ketiga, Tari Topeng Rumyang. Topeng Rumyang menginterpretasikan fase remaja dalam kehidupan manusia. Warna dasar topengnya adalah merah muda. Gerakan-gerakan dalam Tari Topeng Rumyang terkesan tegas. Namun, sisi labilnya ditunjukkan dalam bentuk pengulangan beberapa gerakan. Rumyang adalah judul lagu yang digunakan untuk mengiringi tari topeng yang satu ini.


Keempat, Tari Topeng Tumenggung. Di antara lima babak Tari Topeng Cirebon, hanya Tari Topeng Tumenggung yang menggunakan properti berupa topi. Dalam hierarki kerajaan, Tumenggung atau patih atau panglima perang. Tumenggung merupakan gambaran manusia yang sudah menemukan jati diri, bersikap dewasa, dan mapan. Irama geraknya juga terkesan tenang dan mantap. Bentuk Topeng Tumenggung dilengkapi kumis dan guratan-guratan wajah yang terkesan bijaksana.


Sementara itu, kostum penari berwarna hitam karena warna tersebut dianggap sesuai jika dipadukan dengan warna apa pun. Persis seperti makna sikap dewasa yang membuat manusia mampu beradaptasi dalam situasi apa pun. Pementasan Tari Topeng Tumenggung biasanya dilengkapi iringan lagu bertajuk Tumenggung.


Kelima, Tari Topeng Kelana. Tari Topeng Kelana mendeskripsikan fase terakhir kehidupan manusia. Topeng Kelana didominasi warna merah dengan kumis tebal serta tatapan mata yang tajam. Sebagian orang mengartikan makna topeng ini sebagai simbol angkara murka dan kerakusan manusia.


Namun, ada pula yang menginterpretasikan arti yang berbeda sebagai bentuk aktualisasi diri yang sempurna. Gerakan-gerakan tari topeng ini ekspresif dan menunjukkan karakter manusia yang mampu mengendalikan amarah. Pementasan Tari Topeng Kelana disempurnakan dengan iringan lagu berjudul Gonjing.


Penulis lahir di Cirebon, Santri Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta, Mahasiswa Staispa Yogyakarta