Opini

Tarekat, Tirakat, Terikat

Sel, 10 Agustus 2021 | 13:30 WIB

Tarekat, Tirakat, Terikat

Selain efektif membentuk dan mengawal karakter individu, tarekat adalah kekuatan komunal yang efektif dalam pergerakan sosial.

Seorang pesuruh sekolah mendatangi saya saat sedang duduk istirahat di sebuah masjid di Surabaya. Sebagai tenaga kebersihan, dia digaji 650 ribu rupiah sebulan. Nilai yang sangat kecil jika dibandingkan di tempat lain untuk kerjaan serupa. Meski demikian, dia tidak mengeluh dan bahkan gaji itu dia pakai untuk mencicil biaya umrah selama 3 tahun. Dia bilang: “saya sebentar lagi berangkat umrah, sebab cicilan sudah hampir lunas”.

 

Anak muda yang belum menikah ini menjalani hari-hari dengan bersahaja. Dia selalu tampak baik-baik saja meski dengan keterbatasan uang. Di hari yang lain, kita bertemu dan dia bercerita kalau habis baiat ikut tarekat Naqsabandiyah Mujaddadiyah Khalidiyah. Dia bilang bahwa di antara silsilah merujuk pada ulama India yang kebetulan dia, Saleh namanya, sangat suka lagu dan film India. Jadi cocok baginya. Dia menyimpan banyak klip video lagu India di ponselnya, katanya.

 

Setelah itu dia secara spontan menyebut 3 istilah: tarekat, tirakat, terikat yang membuat saya selalu teringat. Mengikuti tarekat berarti mengikuti jalan hidup yang diajarkan oleh sang guru. Dia mesti disiplin membaca wirid dan dzikir, melakukan amalan-amalan tertentu dan menjaga perilaku sesuai yang telah digariskan. “Tirakat” artinya, menjalani hidup yang jauh dari kesenangan duniawi. Atau mengamalkan zuhud seperti yang diajarkan oleh Rasulullah. Dan “terikat”, artinya para pengikut tarekat terikat oleh baiat, janji setia dan taat kepada sang guru atau mursyid yang dia berbaiat kepadanya.

 

Trilogi di atas, 3T, adalah bentuk keberagamaan yang terstruktur yang efektif membentuk perilaku pengikut sesuai petunjuk sang guru demi tujuan sukses hidup di dunia dan akhirat. Kuatnya hubungan antara guru dan murid dan jaringan antarsesama pengikut menjadikan tarekat sebagai wadah keberagamaan yang lama eksis dalam sejarah umat Islam. Yaitu semenjak wafatnya Imam al-Ghazali (1111 M) dan Ibn ‘Arabi (1240M) atau kalau di Mesir semenjak kekuasaan Dinasti Mamluk, 1250 M.

 

Selain efektif membentuk dan mengawal karakter individu, tarekat adalah kekuatan komunal yang efektif dalam pergerakan sosial. Pada masa perlawanan terhadap kaum penjajah Eropa, di beberapa tempat kelompok tarekat menjadi pelopornya.

 

Di Indonesia, tarekat Samaniyyah yang dianut oleh Sultan Palembang, memimpin perlawanan atas Belanda. Tertulis dalam karya sastra lokal bahwa pada 1819, mereka memakai pakaian putih dan berzikir keras hingga sampai puncak mahabbah yang kemudian tanpa gentar menyerang Belanda. Hal serupa juga dilakukan Tarekat Samaniyah di Kalimantan. Pada 1888 di Banten, Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah terlibat perlawanan atas penjajah. Di Sumatera Barat, pada 1908 Tarekat Syattariyah menggerakkan perlawanan karena diberlakukannya pajak tembakau oleh Belanda. (Lihat artikel di NU Online: Sejarah Gerakan Kaum Tarekat Melawan Penjajah).

 

Selain di Indonesia, di Afrika Utara, peran tarekat juga dalam perlawanan terhadap penjajah. Di Libya Tarekat Sanusiyah menggalang perlawanan terhadap penjajah Italia. Salah satu pemimpinnya yang terkenal dan menjadi film yang banyak ditonton di seluruh dunia Islam adalah Omar al-Mukhtar (w. 1931). Dia dalam usianya yang 70 tahun memimpin perlawanan atas Italia yang akhirnya mengantarkannya menjadi seorang syahid.

 

Dari sumber mahasiswa Libya di UIN Sunan Ampel yang juga pengamal tarekat, merujuk pada kitab sejarah Tarekat Sanusiyah oleh ‘Ali al-Sallabi, disebutkan bahwa pendiri gerakan Sanusiyah, Muhammad bin Ali bin Al-Sayyid al-Sanusy adalah keturunan Rasulullah dari Hasan bin Ali bin Abi Talib. Dia mengambil dari 40 syekh sebelum mendirikan tarekat. Ia memiliki sanad sambung (muttasil) ke Ahmad bin Idris pendiri Tarekat Idrisiyah Muhammadiyah dan ke Tarekat ‘Isawiyah.

 

Selain sebagai kumpulan pengamal dzikir dan wirid atau Tarekat, Sanusiah banyak disebut sebagai gerakan pembaharuan Islam di kawasan Afrika. Keadaan umat Islam yang lemah dan tertinggal di segala bidang: politik, sosial dan ekonomi, menjadikan Syekh Muhammad bin Ali al-Sanusi (w. 1859M) membentuk gerakan yang notabene berdasar pada semangat perubahan. Tarekat yang bersifat esoterik (batiniyah), dirubah menjadi gerakan perlawanan (harakah munahidah). Dengan demikian, Tarekat Sanusiyah bukan sekedar sebuah gerakan sosial alternatif-reformatif tapi lebih dari itu radikal-revolusioner.

 

Meski demikian, sebagai tarekat, Sanusiyah tidak sepenuhnya diakui (ghayru mu’tabarah). Ia lebih meyakinkan disebut sebagai gerakan pembaharuan yang didirikan oleh figur pengikut tarekat. Bukan tarekat yang berdiri atas dasar baiat yang nyambung hingga ke Rasulullah. Hal serupa juga terjadi pada al-Ikhwan al-Muslimun, sebuah gerakan Islam revolusioner yang didirikan oleh Hasan al-Banna (w. 1949). Beliau adalah pengikut Tarekat al-Hassafiyah al-Syadziliyah di Mesir. Dia mendirikan gerakan Islam politik dan menerapkan ajaran dan amalan tasawuf dalam gerakannya. Tidak heran jika al-Ikhwan al-Muslimun memiliki amalan wirid dan dzikir yang terhimpun dalam buku saku al-Ma’tsurat. Mereka juga menyebut pemimpin mereka dengan sebutan Mursyid sama dengan sebutan pemimpin tarekat. Nilai-nilai tasawuf dengan demikian mampu memberikan sesuatu yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Ia yang memiliki kemampuan organisasi yang bagus bisa menjadi gerakan sosial yang efektif bagi sebuah agenda perubahan.

 

Achmad Murtafi Haris, dosenUIN Sunan Ampel Surabaya